URL TAGS

Ghazalian Center menghadirkan kajian turast Imam al-Ghazali yang lebih otentik dengan paduan analisa ilmu-ilmu modern demi terciptanya progressifitas pemikiran yang mapan di dunia Islam

Wednesday, 11 November 2009

EKSISTENSI TUHAN

EKSISTENSI TUHAN;
Pembacaan Konsep Teologi al-Ghazâli*
Oleh: M. Nora Burhanuddin

With the time came the man. He was Al-Ghazali, the greatest, certainly the most sympathetic figure in the history of Islam, and the only teacher of the after generations ever put by a Muslim on a level with the four great Imams. The equal of Augustine in philosophical and theological importance. By his side the Aristotelian phylosophers of Islam, Ibn Rusyd and all the rest seem beggarly compilers and scholiasts.
[D. B. Macdonald]

Prolog; Asimilasi Filsafat dan Teologi
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang bermakna cinta hikmah/kebijaksanaan. Secara historis, filosof pertama yang menggunakan istilah ini adalah Phytagoras. Namun asumsi ini oleh para pakar disangsikan keakuratannya. Abdurrahman Badawi menyakini bahwa filosof Yunani yang pertama kali memakai istilah ini adalah Socrates. Selanjutnya Plato menggunakannya pula untuk membedakan "cinta hikmah" menurut Socrates dengan milik kaum Sophia.

Sewajarnya sebagai suatu ilmu nalar, filsafat pun mengalami evolusi. Dalam masa Socrates—yang kemudian diperluas oleh Plato—topik bahasan filsafat hanya berkutat pada etika. Aksinocrates, murid Plato, selanjutnya membaginya dalam tiga sub tema: logika (mantiq), fisika (thabî''iyyah) dan etika (akhlâq). Klasifikasi ini pun diimani Zinun, perintis paham stocoisme (ruwâqiyyah). Di zaman Aristo, filsafat mengalami evolusi sangat tajam; ia mencakup semua pengetahuan nalar. Setidaknya, evolusi ini diimani secara kokoh sampai awal-awal masa modern. Memasuki masa modern Eropa, filsafat mengalami "krisis epistemologi" sehingga terpecah menjadi pelbagai macam ilmu secara mandiri. Fisika, Matematika, Fisiologi, Sosiologi dan seabrek ilmu lain menjadi mandiri terpecah dari ranah filsafat berkat usaha brilian para filosof Barat.

Secara historisitas, filsafat Yunani telah masuk ke dunia Islam sejak abad pertama hijriyah, meski mencapai puncaknya di masa Abbasiyah dengan gencarnya penerjemahan manuskrip Yunani ke dalam bahasa Arab. Materi awal yang diterima Islam dari Yunani adalah logika Aristo. Di era ini, Islam telah mengenal logika Aristo sekaligus para penentangnya: logika stocoisme, empirisme dan sophia.

Sikap para tokoh Islam mengenai logika Aristo pun beragam. Menurut Ali Sâmi Nasysyâr mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, sekelompok filosof Islam atau para pensyarah warisan Yunani. Mereka adalah para komentator yang berusaha mengharmonisasikan logika Aristo dengan anasir selainnya; mereka mengimani logika Aristo sebagai kesatuan berpikir yang komperhensif. Mereka dikenal sebagai para pengusung nalar paripatetik (al-Islâmiyyûn al-Misâiyyûn) atau Neo-Platonisme (al-Aflâtûniyyah al-Muhdatsah).

Kedua, sekelompok Ushûliyyîn, Mutakallimîn dan Munâthaqah Mutaakhkhirîn yang lebih condong pada logika stocoisme dan menolak logika Aristo. Mereka berusaha menambahkan materi-materi khusus bagi kalangan mereka. Termasuk kelompok ini, Mutakallimîn dan Ushûliyyîn periode awal yang menolak logika Aristo secara mutlak. Juga, kelompok Shûfiyah—semisal al-Syahrawardi—yang menolak logika Aristo dan berusaha mencipta logika baru pengganti logika Yunani.

Fakta historis ini paling tidak membuktikan tiga hal penting. Pertama, masyarkat Islam periode awal mengenal budaya asing selain Islam dan menimbulkan sikap antara meneima dan menolaknya. Kedua, pembentukan peradaban Islam yang gemilang di era awal tetap membutuhkan "anasir asing" sebagai keniscayaan peradaban. Ketiga, terdapat sedemikian kalangan pakar Islam yang terpengaruh peradaban Yunani. Yang terakhir ini lebih spesifiknya adalah Mutakallimîn dan Ushûliyyîn belakangan yang melakukan pembasisan epistemologi ilmu kalam/teologi dan ushul fikih dengan mengadopsi logika Yunani.

Dalam titik ini, filsafat Yunani tidak hanya masuk dan menjadi "tamu" dalam dunia Islam, namun juga telah "meminang" Islam. Secara spesifik, ilmu kalam atau teologi bisa dijadikan sampel akan terjadinya dlâhirah taatstsuriyyah (fenomena saling mempengaruhi) atau yang penulis sebut dengan asimilasi filsafat dengan teologi. Berikutnya akan sedikit dijelaskan historisitas teologi sehingga terlihat jelas asimilasi ini.

Teologi secara etimologi berarti ilmu ketuhanan. Pengertian ini didapat dari makna bahasa darinya. Dalam bahasa Yunani, theo berarti tuhan, sedang logos bermakna ilmu. Penyatuannya menimbulkan arti: ilmu tentang ketuhanan. Pemaknaan semacam ini semakin dipertegas dengan maknanya secara terminologi.

Secara terminologi, teologi kerap diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tiga pokok utama pembahasan. Ketiganya saling berkait-kelindan. Karenanya, pelbagai "isme", sekte dan aliran muncul dari ketidaksepakatan dalam tiga masalah pokok di atas. Ketiganya adalah masalah esensi (dzât), atribut (sifât) dan aksi (af'âl) Tuhan, Sang Wajibul Wujud.

Sebagai misal, kaum Asy'ariyah—sebagai sekte terbesar penganutnya—selalu tak menyamakan dan menyatukan atribut Tuhan dengan esensi-Nya. Mereka mengatakan—misalnya—al-qidam adalah sifah azaliyyah zâidah 'ala al-dzât.(atribut azali tambahan pada zat). Dengan kata lain, esensi Tuhan—meski memiliki pelbagai atribut yang bermacam-macam—merupakan sebuah hakekat Zat Tuhan yang tak dapat diingkari. Mengingkarinya adalah sama saja dengan pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Konsep ini dikenal sebagai konsep The Unity of God (kesatuan Tuhan).

Dalam memperkuat argumentasinya, mereka mengembangkan teori atomik. Teori ini berdasar anggapan bahwa di alam terdapat bagian terkecil (partikel) yang tak dapat dibagi lagi (al-juz' al-ladzî lâ yatajazza'). Teori ini sering dikenal dengan teori al-jauhar al-fard.

Ibnu Rusyd (Averroes), senada dengan para filosof, tak menyetujui konsep Asy'ariyah ini. Menurutnya, selain konsep ini sulit dipahami, juga tak mencapai tingkatan burhâni; tak mampu memuaskan nalar dan tak mengantarkan keyakinan. Selanjutnya ia mengusulkan dua konsep penggantinya: dalîl al- 'inâyah dan dalîl al-ikhtirâ'.

Ketaksepakatan dalam tiga unsur teologi ini pulalah yang memicu mihnah khalq al-qurân (fitnah kemakhlukan Quran) di masa al-Makmun, al-Muktashim dan al-Wâstiq Muktazilah—sebagai madzhab resmi negara saat itu—bersikeras bahwa Quran adalah makhluk. Di hadapannya berjajar puluhan tokoh Aswaja—di antaranya Ahmad bin Hanbal —yang meyakini Quran adalah kalâm Allah. Keduanya sama-sama bertujuan tanzîh Allah (menyucikan Allah dari segala kekurangan), namun paradigma teologi mereka berbeda. Kelompok pertama tak mengakui bahwa Quran adalah representasi atribut Tuhan, sedang yang kedua meyakininya.

Sebagaimana yang penulis ungkapkan di awal bahwa filsafat telah merasuk dalam pembahasan teologi. Karenanya dalam pelbagai kesempatan, seringkali terma teologi dikaburkan dengan terma filsafat. Padahal esensi keduanya sangat berbeda. Nalaritas teologi hanya mencapai tingkat demonstratif (jadali) sedang filsafat haruslah bersandar pada nalaritas paripatetik (burhâni). Historisitas abad pertengahan Eropa pun mencatat keberatan sejumlah filosof mencampurkan filsafat dengan teologi (al-lâhût). Francis Bacon sebagai representasi paham neo-empirisme—misalnya—tak menyetujui pencampuran ranah teologi dengan filsafat.

Asumsi penulis, hal ini terjadi karena secara historis filsafat Yunani masuk ke dunia Islam pertama kali melalui teolog Muktazilah yang membaca karya-karya filsafat. Mereka mendapuk filsafat sebagai "jalan rasionalitas" di eranya melawan serangan dari agama Yahudi dan Nasrani disamping gencarnya pengaruh filsafat Yunani dan gnostisisme timur. Selanjutnya teolog Asy'ariyah pun dengan kemurnian filsafat Islam—menurut ungkapan Ali Sâmi Nasysyâr—melawan teologi Muktazilah. Kedua sekte tersebut saling debat sehingga terjadi fenomena saling mempengaruhi (dzâhirah taatstsuriyyah). "Pertarungan" ini bisa terbaca secara implisit dari karya Abul Hasan al-Asy'ari, perintis sekte Asy'ariyah, dalam karyanya Al-Ibânah 'an Ushûl al-Diyânah.

Asimilasi filsafat dan teologi pada akhirnya menjadi fakta empiris tak terbantahkan. Teologi yang sudah tercampur postulat-postulat filsafat—terutama logikanya—pada akhirnya pun juga merembet ke ranah disiplin ilmu keislaman lain, yakni ushul fikih. Imam Haramain, sebagai ushûliyyîn, di eranya berusaha membasisi ushul fikih dengan logika. Namun, pencampuran benar-benar terjadi di tangan murid utamanya, al-Ghazâli, tokoh eklektis tiga nalar sekaligus: retorika, paripatetik dan gnostik. Pembahasan berikut akan lebih berkonsentrasi pada "nasib" teologi di tangan The Proof of Islam ini.

Hakekat Zat dan Eksistensi Wajibul Wujud
Semua sekte dalam Islam sepakat bahwa Zat Tuhan adalah azaliyyah dan qadîmah. Sebelumnya, para filosof Yunani pun meyakini bahwa di alam luar sana terdapat Zat Maha Esa yang bersifat kekal. Hanya saja observasi mereka berbeda. Jika kaum filosof melalui logika, maka kaum Hasyawiyyah, misalnya, hanya menerima hal ini dengan teks transmisional; paradigma mereka hanya terkungkung dalam teks.

Meski mereka sepakat dalam konklusi, namun istidlâl mereka bervariasi menurut kecenderungan mereka yang varian. Varian ini terkadang sampai pada level "sesat" dalam pandangan sebagian sekte—misalnya Asy'ariyah memandang istidlâl filosof sesat. Atau tak mencapai level burhâni menurut filosof memandang Asy'ariyah. Berangkat dari konflik paradigma ini, selanjutnya timbul keragaman dalam masalah metode penetapan eksisitensi Wajibul Wujud, Sang Pencipta alam semesta. Pembahasan berikut akan difokuskan pada argumen al-Ghazali, sebagai representasi sekte Asy'ariyah, selanjutnya berusaha dikomparasikan dengan konsep sekte lain yang "kebetulan" berseberangan.

Al-Ghazali sebagai The Proof of Islam secara spesifik membahasnya dalam kitabnya Al-Iqtishâd fi Al-I'tiqâd. Kitab ini, meski tidak menggambarkan hakekat ide al-Ghazâli—menurut Sulaimân Dunyâ—merupakan sebuah kitab teologi al-Ghazali yang cukup maju; memuat pendapat dan argumen Asy'ariyah, khususnya melawan Muktazilah.

Mengenai eksistensi Wajibul Wujud, al-Ghazâli mengadopsi konsep analogi Aristo: premis minor (muqaddimah shughrâ), premis mayor (muqaddimah kubrâ), dan konklusi (natîjah). Ia mengungkapkan bahwa alam semesta adalah hâdits (baru/tercipta dari ketiadaan) dan setiap yang baru [pasti] memiliki sebab. Sehingga, alam semesta pasti memiliki sebab. Premis minor: alam semesta adalah baru; premis mayor: setiap yang baru [pasti] memiliki sebab; dan konklusinya: alam semesta [pasti] memiliki sebab.

Dalam menetapkan eksistensi Tuhan sebagai Wajibul Wujub, ia selanjutnya mendaftar pelbagai eksistensi. Eksistensi—papar al-Ghazâli—adakalanya mutahayyiz (dapat tertangkap panca indera) dan ghair mutahayyiz (tak tertangkap panca indera). Yang pertama, yakni mutahayyiz; jika tak tersusun dari beberapa bagian disebut jauhar fard (partikel/bagian terkecil suatu benda); jika tersusun dinamakan jism (body). Sedang yang kedua, yakni ghair mutahayyiz; jika membutuhkan tempat/wadah disebut 'aradl; jika tak membutuhkan sesuatupun, maka ia adalah Zat Tuhan Maha Esa. Sehingga Zat Tuhan adalah Zat ghair mutahayyiz yang tak membutuhkan apapun dalam eksistensinya. Para ahli kalam menyebut ini sebagai Wajibul Wujud; eksistensinya tak membutuhkan eksistensi lain, di saat eksistensi lain [pasti] membutuhkan eksistensi-Nya. Karenanya eksistensi lain disebut Mumkinul Wujud (eksistensinya berkemungkinan ada atau tidak).

Al-Ghazâli dalam titik ini telah mampu membangun teologi Asy'arian dengan sangat sistematis. Namun sebagaimana biasanya dalam setiap karyanya, ia selalu berusaha menghadirkan argumen lawan. Tak terkecuali dalam kitab al-Iqtishâd fi al-I'tiqâd ini. Selepas membasisi argumentasinya dengan premis Aristotelian, ia pun beranjak membasisi premis Aristotelian itu sendiri, yakni selepas menghadirkan keberatan lawan debatnya.

Premis mayor: setiap yang baru [pasti] memiliki sebab, baginya adalah sebuah badîhiyyah yang [seharusnya] undebateable. Ia meyakini bahwa debat ini bermula dari ketidakpahaman akan makna hâdits. Hâdits—paparnya—adalah sesuatu yang sebelumnya tak wujud, kemudian mewujud sebagai suatu eksistensi. Eksistensi ini dalam kewujudannya membutuhkan murajjih (faktor penyebab/ penguat) keeksistensiannya. Dalam pandangannya, murajjih ini tak lain adalah sebab. Dalam hal ini adalah Zat Wajibul Wujud. Dengan argumen ini—yang paparnya [sebenarnya] bukan merupakan argumen, namun hanya penjelasan makna hâdits—al-Ghazâli membuktikan bahwa premis mayor ini merupakan badîhiyyah yang [seharusnya] undebateable, kebalikan dari nadlari yang debateable.

Premis minor: alam semesta adalah baru—paparnya—terkonsep melalui nalar argumentatif (burhâni) yang bersandar pada dua premis lagi. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa yang dimaksud alam semesta di sini tak lain adalah jauhar dan 'arald yang diakui eksistensinya secara mufakat, kecuali "segelintir" filosof Yunani yang hanya mengakui 'illah, bukan jauhar dan 'aradl. Bagi al-Ghazâli, tak perlu membangun argumentasi kembali dalam membuktikan eksistensi jauhar dan 'aradl karena keduanya dapat ditangkap panca indera yang jelas membuktikan eksistensinya.

Dua premis ini adalah: tiap jism tak akan pernah terlepas dari sesuatu yang hâdits. Sedang tiap yang mengandung hâdits adalah hâdits pula. Konklusinya, tiap jism adalah hâdits. Frase pertama adalah premis minor, sedang yang kedua adalah premis mayor. Dalam kesepakatan Mutakallimin jika dua premis pendahuluan telah diterima maka sudah barang tentu konklusi yang dicapai adalah niscaya. Fakta ini membuktikan—paling tidak—al-Ghazâli, dengan segala sikap kontranya terhadap filosof, ia tetap "sudi" mengambil ilmu dari mereka. Dalam hal ini adalah logika Aristoteles yang berulang kali diadopsi al-Ghazâli.

Asumsi penulis, usaha al-Ghazâli dalam hal ini dapat dibaca minimal dari dua pendekatan. Pertama, sosio-politik. Masa al-Ghazâli adalah masa di mana Dinasti Saljukiyah berkuasa. Masa itu terjadi pergolakan cukup tegang antar tiap sekte dalam Islam termasuk filosof. Masa itu juga mencatat persaingan ketat Fuqahâ’ dalam memperebutkan posisi normatif dalam pemerintahan. Hal ini paling tidak menimbulkan gejolak yang luar biasa dalam masyarakat. Mereka semakin jauh dari tuntunan agama dan teologi Aswaja yang murni. Karenanya al-Ghazâli sebagai The Proof of Islam merasa perlu memperbaiki kondisi sosial dengan ajaran teologi yang menurutnya sesuai dengan ajaran Islam Aswaja, khususnya menurut Asy'ariyah.

Kedua, sosio-kultural. Masa al-Ghazâli mencatat bahwa pengaruh filosof saat itu sangat luas, terutama pengaruh al-Fârâbi dan Ibnu Sîna. Masa itu diskursus filsafat sangat berwibawa di kalangan elit ilmuwan. Logika Aristo menjadi tak tertandingi di masanya, menyurutkan wibawa diskursus agama di tangan para Ulama. Asumsi penulis, sikap al-Ghazâli mengadopsi logika Aristo bisa dipahami sebagai usahanya untuk membasisi teologi Asy'ariyah yang semakin surut pamornya di kalangan elit ilmuwan. Seakan-akan ia ingin mengatakan pada masyarakat bahwa diskursus agama—terutama teologi—tak bertentangan dengan filsafat, bahkan menandingi rasionalitasnya. 'Ali Sâmi Nasysyâr meyakini bahwa di tangan al-Ghazâlilah untuk pertama kalinya dalam sejarah perkembangan, ilmu Islam bercampur dengan logika Yunani, terutama logika Aristo. Demikianlah rasionalisasi al-Ghazâli dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Dengan mengadopsi logika Yunani, tepatnya logika Aristo, al-Ghazâli merasa “percaya diri” menyodorkan argumen ilmiahnya kepada kalangan populis dan juga kaum elitis. Kaum populis diwakili sekelompok Fuqahâ’ dan semua kalangan awam. Sedang kaum elitis terwakili kaum Mutakillimin dan sejumlah Filosof. Sekarang mari kita komparasikan argumen al-Ghazâli ini dengan pendapat Filosof, khususnya Ibnu Rusyd (Averroes) sebagai kritikus internal Asyariyah sekaligus “lawan tanding” al-Ghazâli yang ternama.

Dekonstruksi; Upaya Paripatetis Averroes
Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah berusaha melakukan prosesi otokritik internal terhadap bangunan epistemologi argumentasi Asyariyah dalam teologi. Baginya, sejumlah argumentasi Asyariyah dalam beberapa persoalan partikular sangat fatal karena tak mencapai tingkatan burhâni/paripatetik: tak memuaskan nalar sekaligus sukar dipahami. Meski sejatinya ia adalah seorang “Asyariyan jenius”, namun label Asyariyah tak membuatnya ragu untuk mengkritik bangunan epistemologi Asyariyah. Bahkan tak berlebihan pula jika kita akan membaca sejumlah ungkapan Averroes yang seakan “menyesatkan” argumen Asyariyah secara umum. Ini tak lain adalah sejumlah rangkaian kritik ilmiahnya terhadap al-Ghazâli, tokoh yang sangat berpengaruh dalam evolusi teologi Asyariyan.

Langkah awal Ibnu Rusyd dalam usaha meruntuhkan argumen Asyariyah adalah berusaha membuktikan kerapuhan argumen mereka. Ia berkeyakinan bahwa argumen Asyariyah dalam menetapkan eksistensi Tuhan berawal dari tiga premis yang sama sekali tak mencapai tingkatan burhâni. Hal ini disebabkan karena pemaksaan mereka melakukan prosesi qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid: menganalogikan hal metafisis kepada sesuatu yang empiris. Sebuah prosesi analogi yang rancu bagi para Filosof, termasuk Aristo; sandaran yang terakhir ini dalam menggapai alam mâ warâ’ al-thabî’ah/metaphisic adalah dengan menganalogikan alam empiris demi menggapai alam metafisis. Jika demikian, pembasisan al-Ghazâli menggunakan logika Aristo pada argumen Asyariyah mengalami absurditas. Karena logika yang mereka terapkan terbalik dan salah langkah memulai prosesi analogi. Hal ini terlihat jelas karena mereka berangkat dengan pra-konsep yang ghâib kemudian baru beranjak “membangun” alam empiris (syâhid) dengan cara yang dapat membasisi pra-konsep mereka yang metafisis tersebut.

Sebagai catatan, Asyariyah berargumen demi menetapkan eksistensi Tuhan, pada mulanya, dengan membuktikan terlebih dahulu akan ke-hadits-an alam semesta. Mereka membuktikannya dengan teori al-jauhar al-fard/particle. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kerapuhan argumen ini terletak pada konsep atomik yang dikembangkan Asyariyah. Ia meyakini bahwa konsep al-jauhar al-fard (partikel, bagian terkecil dari suatu benda) yang dikembangkan Asyariyah tak dapat dibuktikan secara paripatetik. Mereka hanya mampu membuktikannya dengan argumen retoris yang tak mencapai tingkatan burhâni. Ia hanya bertumpu pada tamtsîl bayâni, semisal ungkapan mereka: gajah lebih besar daripada semut karena di dalam gajah terdapat bagian yang lebih banyak daripada semut. Kemudian mereka berkesimpulan bahwa bagian-bagian gajah terbatas sebagaimana pula bagian dalam semut. Karena andaikata tidak demikian, maka kita tak sah mengungkapkan bahwa bagian semut lebih sedikit daripada gajah. Di sinilah titik kerancuan argumen Asyariyah membuktikan adanya konsep al-jauhar al-fard. Hal ini disebabkan adanya pencampuran “kuantitas terpisah” (al-kammiyah al-munfashilah) dengan “ kuantitas yang tak terpisah” (al-kammiyah al-muttashilah). Yang pertama berarti kuantitas bilangan jumlah gajah atau semut. Sedang yang kedua merupakan kuantitas bagian dalam [tubuh] gajah atau semut. Padahal mâ yashduqu ‘ala al-munfashilah lâ yashduqu ‘ala al-muttashilah: “kuantitas terpisah” [semisal jumlah gajah lebih banyak daripada semut] tak selalu berbanding lurus dengan “kuantitas tak terpisah” [semisal gajah lebih besar daripada semut]. Karenanya kita tak sah menyatakan dengan kacamata “kuantitas tak terpisah” bahwa gajah lebih banyak daripada semut. Juga kita tak sah pula mengungkapkan dengan kacamata kuantitas jumlah bahwa gajah lebih besar daripada semut. Kita hanya sah mengungkapkan, pada yang pertama, bahwa gajah lebih besar daripada semut. Selanjutnya, kita juga hanya sah mengungkapkan, pada yang kedua, bahwa gajah lebih banyak jumlahnya daripada semut. Dengan argumen ini Ibnu Rusyd telah benar-benar meruntuhkan argumen Asyariyah akan adanya al-jauhar al-fard. Dalam titik ini ia telah mampu membangun premis pertama yang merancukan argumen Asyariyah.

Dalam premis kedua Ibnu Rusyd berusaha kembali meruntuhkan argumen Asyariyah, tepatnya dalam prosesi qiyâs ghâib ‘ala al-syâhid. Asyariyah berargumen bahwa alam semesta adalah hâdits atas dasar anggapan bahwa ia tersusun dari bagian-bagian terkecil yang tak dapat terpecah lagi (al-jauhar al-fard). Sedang yang terakhir ini juga hâdits. Sehingga, segala yang tersusun dari jenis yang hâdits adalah hâdits pula. Dalam titik ini mereka mengeneralisir bahwa semua jauhar adalah hâdits. [Dalam konsep mereka, al-mutahayyiz terbagi menjadi dua: yang tak dapat dipecah lagi (al-jauhar al-fard) dan yang masih dapat terpecah (al-jism). Argumen ini bagi Averroes sangat rancu karena kita tak sah menganalogikan benda luar angkasa yang tak terlihat (ghâib) kepada benda bumi yang terlihat (syâhid). Dalam artian, Ibnu Rusyd tak menyangsikan ke-hâdits-an benda bumi yang terlihat. Namun problemnya adalah kita tak sah menggenaralisir benda luar angkasa hanya karena kita melihat benda bumi. Hal ini tentunya adalah generalisir yang sangat tak ilmiah. Karenanya konsep qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid perlu disangsikan kembali. Demikian langkah kedua Ibnu Rusyd dalam upaya meruntuhkan argumen Asyariyah.

Selanjutnya, argumen mereka yang menyatakan bahwa segala yang tak terlepas dari jenis hâdits maka hâdits pula. Bagi Ibnu Rusyd premis ini masih kurang kokoh. Karena ia akan menimbulkan pemahaman ganda. Pertama, ia kemungkinan dapat diartikan: segala hal yang tak terlepas dari jenis hâdits tanpa ditentukan mana yang tak terlepas tersebut. Kedua, ia dapat pula dimengerti: segala hal yang tak terlepas dari pelbagai hâsits namun masih [berkemungkinan] terlepas pada beberapa bagiannya. Sehingga segala hal yang terlepas dari jenis hâdits sama sekali tak menutup kemungkinan ada bagian-bagian tertenu yang tak hâdits, termasuk di antarnya “tempat”. Hal ini karena mungkin sekali “tempat” tersebut: al-jism ditempati ‘aradl yang tak henti-henti silih berganti (ghair mutanâhiyah). Adakalanya selalu berlawanan [semisal hitam dan putih] dan adakalnya pula tak berlawanan [semisal gerakan-gerakan yang tak ada hentinya]. Jika makna pertama yang dimaksud, maka presmis tersebut benar secara burhâni. Namun sayangnya kaum Asyariyah lebih memilih kemungkinan yang kedua. Agaknya kalangan Mutaakhirin Asyariyah menyadari akan kerancuan argumennya sehingga mereka berusaha membendungnya dengan ungkapan: tak mungkin satu tempat (al-jism) akan ditempati secara beriringan beberapa‘aradl yang tak ada hentinya. Namun Ibnu Rusyd masih menyadari akan kelemahan ini. Ia meyakini bahwa ungkapan di atas bisa benar jika yang dimaksud adalah ‘aradl yang melakukan “gerakan lurus” (al-harakah al-mustaqîmah), bukan yang “gerakan melingkar” (al-harakah al-dâiriyyah). Artinya, dalam gerakan yang kedua [semisal, jika ada awan mendung pasti telah ada uap yang naik ke langit, jika ada uap yang naik ke langit pasti bumi telah basah, jika bumi basah pasti telah terjadi hujan, jika terjadi hujan pasti telah ada awan mendung sebelumnya...dst], hal itu sama sekali tak mengharuskan berakhirnya gerakan tanpa henti sebelum terjadinya gerakan ‘aradl tertentu, semisal hujan.

Rekonstruksi; Tawaran Averroes
Demikianlah secara ringkas argumen Ibnu Rusyd melumphkan konsep al-jauhar al-fard yang diaplikasikan Asyariyah dalam menetapkan ke-hâdits-an alam semesta. Mereka beorientasi dengan ini untuk selanjutnya menetapkan adanya Pencipta Alam Semesta. Namun Ibnu Rusyd mencoba mendekonstruksinya untuk selanjutnya ia rekonstruksi kembali. Karena baginya, selama tujuannya adalah demi menetapkan eksistensi Tuhan, selayaknya dilakukan langsung lewat alam raya ciptaan-Nya. Bukan melalui cara rumit yang bertele-tele dengan memperkirakan ke-hâdits-an alam. Ia menegaskan cara inilah [juga] yang diterapkan Quran dalam menetapkan eksistensi-Nya. Selanjutnya mari kita simak bagaimana Ibnu Rusyd mengajukan proposal proyek besarnya menggantikan teori Asyariyah.


Dari pengalamannya “membedah” Quran secara filosofis, Ibnu Rusyd meramu konsep besarnya dalam dua terma: dalîl ‘inâyah dan dalîl ikhtirâ’. Ia berujar lantang:

“Metode yang Quran tuntut pada mayoritas untuk memasuki lewatnya, jika [kita mau] mengobservasi Quran [lewat pendekatan induktif], terangkum dalam dua varian: pertama, metode memperhatikan (‘inâyah) manusia dan gejala penciptaan segala ciptaan demi kesejahteraannya, kita menyebutnya dengan dalîl ‘inâyah. Kedua, metode memandang segala hal yang termanifesto dalam penciptaan (ikhtirâ’) pelbagai esensi makhluk yang eksis, semisal penciptaan kehidupan pada benda-benda padat-mati, kemampuan fisik panca indera dan akal. Kita menamainya dengan dalîl ikhtirâ’...”

Selanjutnya kita akan mengupas lebih dalam kedua argumen di atas dengan poin-poin di bawah ini:
a. Dalîl ‘Inâyah atau al-Asbâb al-Ghâiyah
Secara filosofis Aristotelian, Ibnu Rusyd berusaha membangun argumen ini menggunakan pendekatan premis-konklusi. Hal ini jelas tergambar dalam pernyataannya berikut:

“Adapaun metode pertama, maka ia terbangun melalui dua landasan: pertama, bahwa segala hal eksis yang ada di [dunia] ini sesuai dengan [karakteristik dan watak] eksistensi manusia. Kedua, kesesuaian ini adalah kepastian (dlarûrah) di sisi Pembuatnya yang bermotif (qâshid) dan berkehendak (murîd). Hal ini karena tak mungkin kesesuaian ini terjadi karena kebetulan”

Sehingga konklusi yang dicapai adalah keniscayaan eksistensi Pelaku berkehendak yang menjadikan segala eksistensi sesuai dengan manusia. Pelaku ini tak lain adalah Zat Maha Kuasa Sang Wâjibul Wujûd. Eksplisitnya, argumen ini berusaha mengenal Tuhan melalui segala ciptaan-Nya. Ini merupakan metode para Filosof. “Karena syariat yang khusus bagi para Filosof adalah observasi terhadap segala eksistensi. Hal ini karena Sang Pencipta tak disembah dengan penghambaan yang lebih mulia daripada mengenali segala ciptaan-Nya yang akan mampu membawa pengenalan terhadap Zat-Nya secara hakekat yang merupakan bentuk termulia dari aktifitas [manusia] di sisi-Nya.”

Dalam titik ini, Ibnu Rusyd telah mengaplikasikan konsep premis-konklusi Aristo. Hal ini semakin menguatkan bahwa tak ada kontradiksi antara filsafat dengan syariat. Usahanya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan dengan metode ini jelas merupakan suatu bukti otentik ketangguhannya mempertahankan filsafat di tengah kecaman para pembencinya. Sikapnya dalam hal ini juga bisa dipandang sebagai “koreksi” atas usaha al-Ghazâli membangun argumen Asyariyahnya dengan mengadopsi logika premis-konklusi Aristo. Dengan kata lain, Ibnu Rusyd ingin memberikan “contoh cerdas-tepat” dalam mengaplikasikan logika Aristo tersebut. Artinya, kesalahan al-Ghazâli dalam mengaplikasikan logika Aristotelian bukan terletak pada logika tersebut. Namun problemnya adalah kesalahan “titik-tolak”-nya membangun logika tersebut; menggunkan pendekatan qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid: sebuah pendekatan yang tak diridlai para Filosof.

Jika kita jelaskan melalui logika Aristo, kita akan menemukan bahwa “alam semesta dengan segenap isinya sesuai dengan manusia” adalah premis minor. Sedang ungkapan “segala yang sesuai pada setiap bagiannya dengan satu karakter dan demi satu tujuan tertentu yang sistematis pastilah merupakan ciptaan” adalah premis mayor. Sehingga konklusi yang dihasilkan adalah “alam pasti dicipta dan memiliki Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa”.

Secara genealogi, konsep ini [dalîl al-‘inâyah] sebenarnya bukan merupakan barang baru. Ia sudah lama tercetuskan di era Filosof Yunani semisal Aristo, Plato dan Phytagoras; atau Barat seperti Saint Thomas Ackquinas sebelum era Ibnu Rusyd. Ia juga telah merasuk dalam pembahasan para Filosof Islam Timur semisal al-Kindi dan Ibnu Sîna; atau Barat seperti Ibnu Thufail dalam Hay bin Yaqadzân-nya. Ia bahkan telah meresap ke dalam karya-karya Mutakallimin baik Asyariyah maupun Muktazilah. Namun memang di tangan Ibnu Rusyd-lah konsep ini mengalami “pembasisan” yang cukup kuat; ia melakukan perekatan pendapatnya tersebut dengan konsep kausalitas dan kepastian hubungan antara sabab dan musabbabât. Sebagai catatan, perlu diakui pula konsep ini pula tak kering dari kritik yang “menghantuinya” baik ketika masih di era Yunani maupun era renaissance Eropa di tangan Emanuel Kant dan Henri Bergson. Inti dari kritik mereka ini adalah bahwa sangat naif menganalogikan Tuhan Sang Pencipta alam semesta dengan manusia si pembuat benda-benda duniawi. Karena karakter pembuatan benda duniawi ini tak sama dengan karakter ciptaan Sang Maha Kuasa.

b. Dalîl al-Ikhtirâ’
Argumen ini juga masih berhubungan dengan konsep kausalitas dan kritik akan kemungkinan pembuatan alam secara kebetulan sebagaimana argumen sebelumnya. Dalam kesempatan kedua ini, Ibnu Rusyd juga masih menggunakan pendekatan logika Aristo. Hal ini terbaca jelas dari ungkapannya:

“Adapun dalîl ikhtirâ’ maka ia mencakup [penciptaan] eksistensi pelbagai fauna, flora dan angkasa raya. Metode ini terbangun atas dua landasan yang [tersimpan] secara potensial dalam fitrah setiap manusia. Pertama, bahwa segala eksistensi ini telah tercipta. Hal ini dapat diakui secara mandiri dalam flora dan fauna... Adapun yang kedua, bahwa setiap ciptaan pasti memiliki pencipta. Sehingga [kesimpulan yang dicapai] bahwa setiap eksistensi pasti memiliki Pelaku dan Penciptanya..”

Sehingga manakala argumentasi ini menimbulkan keyakinan yang mampu mengantarkan pada kepercayaan akan eksistensi Zat Maha Esa, maka [sebenarnya] keyakinan ini bersumber dari pengetahuan [mengamati] segala eksistensi di dunia ini. Artinya, observasi pelbagai eksistensi yang ada di alam raya—sebagaimana orientasi filsafat itu sendiri: al-bahts ‘an al-maujûd min haisu huwa maujûd—dapat mengantarkan seseorang mencapai tingkatan, bukan hanya meyakini eksistensi Tuhan, namun juga mengenali-Nya dengan hakekat pengetahuan yang sebenarnya.

Dalam titik ini Ibnu Rusyd telah berhasil merekonstruksi bangunan epistemologi yang dicarut-marutkan Asyariyah dalam argumentasi eksistensi Tuhan. Jika kritikannya di awal pembahasan merupakan upaya dekonstruksi internal menggunakan argumentasi paripatetik (adillah burhâniyah), maka ia pun membuktikan untuk tidak hanya “menghancurkan”—sebagaimana kebiasaan para pembenci filsafat—namun juga melakukan upaya rekonstruksi “puing-puing” epistemologi yang telah hancur sehingga menjadi bangunan yang lebih elegan dan mewah. Kelebihan “bangunan” baru ini tak hanya dari segi mutu dan kualitas [karena menggunakan argumentasi paripatetik], namun juga dari segi efisiensi [karena dapat digunakan segala tingkatan nalar manusia]. Manusia awam sekalipun mampu mengaplikasikannya dalam rangka membuktikan eksistensi Tuhan. Bukankah Quran pula yang menuntun kita untuk memperhatikan alam raya beserta isinya demi membuktikan eksistensi Zat Maha Kuasa? Saya kira tak perlu untuk menyebut ayat per ayat Quran dalam tulisan ini. Saya khawatir tulisan ini akan menjadi “parade ayat” yang menjemukan. Karya Ibnu Rusyd al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah dalam hal ini saya kira sangat relevan untuk dirujuk langsung karena memuat sedemikian banyak argumentasi yang menawan; memadukan nalar dengan teks-teks Quran.

Apakah konsep Ibnu Rusyd ini paradoks dengan konsep Aristo karena yang pertama menggunakan pendekatan qurani sedang yang kedua menggunakan pendekatan akal? ‘Âbid al-Jâbiri dalam hal ini sangat cantik menjelaskannya yang terekam dalam studinya terhadap karya Ibnu Rusyd al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah. Ia menjelaskan bahwa tak ada yang paradoks dalam hal ini. Karena dalîl ‘inâyah tak lain adalah representasi konsep alam (kosmos). Sedang dalîl ikhtirâ’ adalah buah dari konsep pembuatan (al-shun’), bukan penciptaan dari ketiadaan (al-khalq min al-‘adam) sebagaimana milik Asyariyah. Hal ini karena ikhtirâ’ di sini adalah penciptaan suatu bentuk (al-shûrah) dalam sebuah materi (al-mâddah), semisal pembuatan kursi dalam sebongkah kayu. Setiap materi selalu mengandung bentuk [kondisi sebongkah kayu sebelum menjadi kursi]. Keadaan ini terus-menerus dengan grafik menurun sampai kepada materi yang tak tertentu (al-mâddah ghair al-muta’ayyinah) yang merupakan al-huyûli atau materi pertama (al-mâddah al-ûla). Demikian pula keadaan tersebut terus-menerus dengan grafik menanjak sampai kepada pelbagai bentuk yang tak berada dalam pelbagai materi (al-shuwar al-lati laisat fi mawâd). Sebuah bentuk yang tak berada dalam sebuah materi tersebut adalah bentuk ruhani (shûrah rûhâniyah), yakni jiwa (al-nafs). Jiwa manusia akan menjadi sempurna, yakni terlepas dari segala materi: fisik dan pelbagai ragamnya, dengan cara memperdalam pengetahuan sehingga pada suatu titik tertentu akan menjadi akal. Selanjutnya segala objek pemikirannya akan menjadi “pemahaman yang telanjang” (mafâhîm mujarradah) yang tak membutuhkan alam fisik apapun. Dalam titik ini ia akan menjadi “akal terpisah” (al-aql al-mufâriq) atau mendekatinya. “Akal terpisah” ini adalah “akal-akal samawi” (al-uqûl al-samâwiyah) yang bertingkat-tingkat menurut kadar kemuliaan dan ketinggiannya sampai kepada “akal pertama” (al-aql al-awwal) atau “penggerak pertama” (al-muharrik al-awwal) yakni Tuhan Yang Maha Kuasa menurut para Filosof. Dialah yang memberi bentuk pada setiap materi, baik tanpa perantara maupun dengan perantara akal samawi. Perantara ini, oleh para Filosof Islam, disebut “pemberi bentuk” (wâhib al-shuwar). Prosesi pemberian bentuk adalah prosesi penciptaan kehidupan dalam materi-materi yang mampu menerimanya. Proses ini sama sekali tak bertentangan dengan agama. Hanya saja dalam beberapa seginya masih membutuhkan kinerja takwil untuk mengatasi sejumlah teks-teks agama. Kinerja takwil ini hanya dapat dipahami oleh para “ulama” dalam sejumlah kitab-kitab filsafat yang mempelajarinya.

Epilog
Demikianlah sekelumit dialektika filosofis antara al-Ghazâli dan para Filosof seputar konsep eksistensi Tuhan Sang Wajibul Wujud. Penulis harap “makalah kecil” ini menjadi pertimbangan filosofis masa depan demi mencapai konsep teologi Islam humanis dan lebih mencerahkan. Salam

Blog penulis : www.masnora.wordpress.com

No comments:

Post a Comment