Sebagai sebuah komunitas pelajar, Masisir selayaknya menjadi agent of change bagi peradaban. Sebagai penerus bangsa, Masisir seharusnya memiliki independensi yang mantap. Berbekal wawasan luas dan kecakapan yang matang, seharusnya Masisir memiliki kekayaan intelektual yang mencerahkan. Inklusivitas pemikiran dan paradigma menjadi prioritas dalam hal ini. Paradigma fundamental dan radikal sejatinya adalah musuh bersama, terutama pelajar; komunitas intelektual yang harus dan akan selalu mampu merumuskan yang terbaik bagi masa dan eranya.
Dalam semangat ini, Ghazalian Center Study Club lahir di tengah komunitas intelektual Masisir. Ia berusaha mengambil bagian dalam dinamika intelektual Masisir. Ia juga turut andil mengkayakan Masisir dengan wawasan turats yang mumpuni. Ia berupaya memandang liberasi turats bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kekayaan. Dengan paradigma yang inklusif diharapkan Ghazalian Center Study Club (GCSC) mampu mentransformasikan informasi intelektual yang objektif, bermetodologi dan ilmiah.
Latar Belakang Ghazalian Center Study Club
Berawal dari kesadaran intelektual (intellectual awareness), berangkat dari komunitas IKNK, tiga kawan mulai merembukkan sebuah ide besar yang melangit. Dengan tujuan turut andil dalam meningkatkan kesadaran intelektual; Amirallah Asy’ari, Ahmad Hilmi dan Ahmad Nafis Qurthubi, S. Hi. (para masyayikh GCSC) mengusulkan ide perintisan sebuah kajian yang meningkatkan intelektualitas Masisir. Maka lahirlah Ghazalian Center Study Club dan Nizameyyah Center sebagai saudara kembar kakak-beradik pada tanggal 11 November 2006. Kemudian langsung mengadakan kajian dengan anggota 6-7 orang pada awal tahun 2007. Karena berbagai pertimbangan yang matang, akhirnya pada akhir tahun 2007 GCSC berhasil menjadikan dirinya sebagai Badan Otonom di IKNK. Sehingga dipilihlah nama Ghazalian Center Study Club yang memiliki makna filosofis, sekaligus visi-misi yang cukup signifikan. Selain itu latar belakang sosiologi juga menjadi salah satu faktor pemilihan nama ini.
Dalam sisi latar belakang sosio-kultural, nama Al-Ghazali, seorang tokoh kharismatik klasik, sengaja dicomot mengingat bahwa background mayoritas Masisir adalah pesantren yang sangat mengagungkan sosok Al-Ghazali. Perlu dicatat, bahwa realitas empirik pesantren di Indonesia memang tak lepas dari pemikiran Al-Ghazali, terutama yang dalam naungan Nahdlatul Ulama (NU). Hampir seluruh—jika enggan mengatakan semua—pesantren di Indonesia pasti memiliki hubungan khusus dengan karya-karya Al-Ghazali, khususnya dalam bidang tasawuf. Hubungan tersebut baik dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada seluruh jenjang pendidikan dan dalam tempo yang konstan, maupun dalam kurikulum-kurikulum “kilat” seperti dalam pesantren Ramadlan di pelbagai pesantren. Alasan ini mungkin yang menempati rating pertama “kekaguman” orang pesantren terhadap sosok Al-Ghazali.
Al-Ghazali memang sosok ensiklopedis. Hampir dalam tiap diskursus keislaman ia selalu mengambil bagian darinya. Ia juga tercatat dalam sejarah sebagai tokoh eklektis yang mampu mendamaikan antara ketiga nalar epistemik: retoris, gnostis dan paripatetis. Selain itu, Karya magnum opus-nya, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebagai bukti bahwa ia juga mampu mendamaikan antara diskursus tasawuf dengan syariat; ia membungkus ajaran gnostik-sufisme dengan nalar retoris-syariat.
Dengan prestasi itu, memang sangat laik sosok Al-Ghazali menjadi idola, tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh belahan dunia. Ia seorang mujaddid abad kelima yang namanya harum terkenang sejarah.
Namun, kebesaran Al-Ghazali di Indonesia serasa hambar, karena masyarakat Indonesia tak akrab dengan semua karyanya; mereka hanya mengenal Al-Ghazali lewat Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyat al-Hidâyat, Ayyuhal Walad dan kitab tasawuf lain. Seakan Al-Ghazali hanya seorang tokoh sufi. Mereka pun terlalu mengangungkannya, bahkan melebihi keakraban mereka dengan pelbagai variabel karyanya. Sehingga, Ghazalian Center Study Club berharap mampu memberikan andil dalam mengkayakan wacana seputar Al-Ghazali dan komparasinya dengan para tokoh peradaban lain. Semua alasan di atas kiranya menjadikan alasan filosofis pencomotan nama Al-Ghazali.
Visi-Misi Ghazalian Center Study Club
Selain turut andil dalam usaha membudayakan intelektualitas dalam Masisir, GCSC juga berorientasi memberikan pemahaman yang komperhensif, terutama dalam sosok Al-Ghazali. GCSC juga memiliki misi yang teramat mulia: memberikan transformasi intelektual sedini mungkin bagi Masisir sebagai bekal terjun di masyarakat. Hal ini mengingat semakin meruyaknya paham-paham fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam [lokal] Indonesia. Karenanya GCSC selalu mengutamakan paradigma progresif-inklusif dalam mengayak sumber-sumber intelektualitas. Dengan paradigma progresif, GCSC berharap turut andil dalam mencerahkan pemikiran Masisir untuk selanjutnya ditransformasikan ke Indonesia. Dengan paradigma inklusif, GCSC juga berharap mampu menyerap ide pencerahan sebanyak mungkin dari siapapun dan dari manapun ia berasal. Ibarat [konon] kata Nabi, “Hikmah bagaikan barang hilang milik orang mukmin. Dimanapun ia temukan ia akan ambil”.
Metodologi Ghazalian Center Study Club
Dalam sebuah forum kajian, metodologi mutlak diperlukan. Ia merupakan sebuah rasionalisasi era kini yang mampu menjadikan kajian ilmiah semakin ilmiah dan memiliki standar objektivitas yang memadai. Sebuah ironi barangkali, kita sebagai Masisir seringkali mendapati racauan pedas dari kalangan akademisi lain. Seringkali opini mereka terbangun bahwa mahasiswa Timur Tengah kaya wacana namun miskin metodologi. Berbeda dengan mahasiswa Barat yang selalu kaya metodologi, meski terkadang juga miskin wacana.
Racauan di atas barangkali yang mendorong GCSC untuk berusaha selalu menggunakan metodologi yang mutakhir dalam membaca dan menganalisis wacana turats Islam. Memang, perlu diakui bersama bahwa pelbagai metode telah dilahirkan di Barat. Namun, kita tak pernah akan bersalah jika kita membaca wacana turats kita dengan metode mereka. Metode ibarat pisau, tergantung kita gunakan untuk apa. Bahkan, sebuah keengganan menerapkan metode modern dan terkini merupakan sebuah “dosa intelektual” yang telah terbukti mengungkung umat Islam dalam kemerosotan dari pelbagai aspek, termasuk intelektualitas yang paling parah. Bukankah kita selalu tertuntut untuk berijtihad dalam beragama? Dan GCSC meyakini bahwa aplikasi metode darimanapun akan lebih mengkayakan wacana peradaban.
Disamping metode komparatif yang sering dipakai, metode lain juga turut antri. Fenomenologi, epistemologi, strukturalis, arkeologi dan sosiologi mungkin sederet metode yang akan mewarnai kajian GCSC. Hal ini tak terlepas dari bahwa GCSC di samping menyelam ke dalam tumpukan turats yang menggunung, ia juga rela mengais-ngais wacana dari para pemikir kontemporer, semisal ‘Âbid al-Jâbiri, Yahya Muhammad, Abdurrahman Badawi, Maitsam Janabi, Sulaiman Dunyâ, ‘Âthif al-‘Irâqi dan seabrek pemikir Timur Tengah lain. Selain di Timur Tengah, para pemikir Barat juga sering menjadi langganan “toko kulakan” dalam wacana ke-Ghazali-an. Sebut saja Nicholson, Macdonald, Watt dan sejumlah Islamolog dan Filosof Barat terkemuka lain. Sehingga GCSC berusaha mengembangkan wacana turats Islam dengan pembacaan yang termutakhir dari para pemikir.
Kiranya, uraian singkat di atas dapat memberikan gambaran singkat tentang GCSC yang diharapkan semakin membuming dan menjadi bagian penting dalam andil mencerdaskan bangsa, terutama Masisir.
Kairo, 23 Maret 2009
[Regard]
No comments:
Post a Comment