URL TAGS

Ghazalian Center menghadirkan kajian turast Imam al-Ghazali yang lebih otentik dengan paduan analisa ilmu-ilmu modern demi terciptanya progressifitas pemikiran yang mapan di dunia Islam

Monday, 16 November 2009

SILABUS KAJIAN GHAZALIAN CENTER PERIODE TAHUN 2008 - 2009

[Menyingkap Sisi Progresivitas Teologi dan Tasawuf al-Ghazâli]

Teologi :
  1. Mulyadi Maqali : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Ilahiyat".
  2. Ahmad Hilmi : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Nubuwwat".
  3. Arsil Azwar Senja : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Teologi dan studi komparasi Imam Haramain dan ar-Razi".
  4. Ahmad Subki : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Kosmos dan studi komparasi dengan Ibnu Sina dan Al Farabi".
Tasawuf :

  1. Amirallah Asyarie, Lc. : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Tashawuf dan studi komparasi Al-Hallaj dan Syeikh Siti Jenar".
  2. Nora Burhanuddin : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam tashawuf dan studi komparasi Ibn Sina dan Al Farabi".
  3. Nova Burhanuddin : "Mengkaji Sisi progresivitas al-Ghazali dalam Tashawuf dan studi komparasi Ibn Arabi".


Ketentuan Kajian:

  1. Tiap orang berkewajiban membuat makalah minimal 40 halaman, dengan font Garamond size 12, ukuran A4, dan single paragraf.
  2. Pertemuan dilaksanakan setaiap 15 hari sekali.
  3. Tiap pertemuan adalah presentasi dan monitoring hasil tulisan selama waktu tenggang.
  4. Akhir penyelesaian penulisan adalah 6 bulan berikutnya dari bulan November.
  5. Dan hasil kajian akan dibukukan dan dilauncing pada waktu yang telah disepakati.

Wednesday, 11 November 2009

EKSISTENSI TUHAN

EKSISTENSI TUHAN;
Pembacaan Konsep Teologi al-Ghazâli*
Oleh: M. Nora Burhanuddin

With the time came the man. He was Al-Ghazali, the greatest, certainly the most sympathetic figure in the history of Islam, and the only teacher of the after generations ever put by a Muslim on a level with the four great Imams. The equal of Augustine in philosophical and theological importance. By his side the Aristotelian phylosophers of Islam, Ibn Rusyd and all the rest seem beggarly compilers and scholiasts.
[D. B. Macdonald]

Prolog; Asimilasi Filsafat dan Teologi
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang bermakna cinta hikmah/kebijaksanaan. Secara historis, filosof pertama yang menggunakan istilah ini adalah Phytagoras. Namun asumsi ini oleh para pakar disangsikan keakuratannya. Abdurrahman Badawi menyakini bahwa filosof Yunani yang pertama kali memakai istilah ini adalah Socrates. Selanjutnya Plato menggunakannya pula untuk membedakan "cinta hikmah" menurut Socrates dengan milik kaum Sophia.

Sewajarnya sebagai suatu ilmu nalar, filsafat pun mengalami evolusi. Dalam masa Socrates—yang kemudian diperluas oleh Plato—topik bahasan filsafat hanya berkutat pada etika. Aksinocrates, murid Plato, selanjutnya membaginya dalam tiga sub tema: logika (mantiq), fisika (thabî''iyyah) dan etika (akhlâq). Klasifikasi ini pun diimani Zinun, perintis paham stocoisme (ruwâqiyyah). Di zaman Aristo, filsafat mengalami evolusi sangat tajam; ia mencakup semua pengetahuan nalar. Setidaknya, evolusi ini diimani secara kokoh sampai awal-awal masa modern. Memasuki masa modern Eropa, filsafat mengalami "krisis epistemologi" sehingga terpecah menjadi pelbagai macam ilmu secara mandiri. Fisika, Matematika, Fisiologi, Sosiologi dan seabrek ilmu lain menjadi mandiri terpecah dari ranah filsafat berkat usaha brilian para filosof Barat.

Secara historisitas, filsafat Yunani telah masuk ke dunia Islam sejak abad pertama hijriyah, meski mencapai puncaknya di masa Abbasiyah dengan gencarnya penerjemahan manuskrip Yunani ke dalam bahasa Arab. Materi awal yang diterima Islam dari Yunani adalah logika Aristo. Di era ini, Islam telah mengenal logika Aristo sekaligus para penentangnya: logika stocoisme, empirisme dan sophia.

Sikap para tokoh Islam mengenai logika Aristo pun beragam. Menurut Ali Sâmi Nasysyâr mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, sekelompok filosof Islam atau para pensyarah warisan Yunani. Mereka adalah para komentator yang berusaha mengharmonisasikan logika Aristo dengan anasir selainnya; mereka mengimani logika Aristo sebagai kesatuan berpikir yang komperhensif. Mereka dikenal sebagai para pengusung nalar paripatetik (al-Islâmiyyûn al-Misâiyyûn) atau Neo-Platonisme (al-Aflâtûniyyah al-Muhdatsah).

Kedua, sekelompok Ushûliyyîn, Mutakallimîn dan Munâthaqah Mutaakhkhirîn yang lebih condong pada logika stocoisme dan menolak logika Aristo. Mereka berusaha menambahkan materi-materi khusus bagi kalangan mereka. Termasuk kelompok ini, Mutakallimîn dan Ushûliyyîn periode awal yang menolak logika Aristo secara mutlak. Juga, kelompok Shûfiyah—semisal al-Syahrawardi—yang menolak logika Aristo dan berusaha mencipta logika baru pengganti logika Yunani.

Fakta historis ini paling tidak membuktikan tiga hal penting. Pertama, masyarkat Islam periode awal mengenal budaya asing selain Islam dan menimbulkan sikap antara meneima dan menolaknya. Kedua, pembentukan peradaban Islam yang gemilang di era awal tetap membutuhkan "anasir asing" sebagai keniscayaan peradaban. Ketiga, terdapat sedemikian kalangan pakar Islam yang terpengaruh peradaban Yunani. Yang terakhir ini lebih spesifiknya adalah Mutakallimîn dan Ushûliyyîn belakangan yang melakukan pembasisan epistemologi ilmu kalam/teologi dan ushul fikih dengan mengadopsi logika Yunani.

Dalam titik ini, filsafat Yunani tidak hanya masuk dan menjadi "tamu" dalam dunia Islam, namun juga telah "meminang" Islam. Secara spesifik, ilmu kalam atau teologi bisa dijadikan sampel akan terjadinya dlâhirah taatstsuriyyah (fenomena saling mempengaruhi) atau yang penulis sebut dengan asimilasi filsafat dengan teologi. Berikutnya akan sedikit dijelaskan historisitas teologi sehingga terlihat jelas asimilasi ini.

Teologi secara etimologi berarti ilmu ketuhanan. Pengertian ini didapat dari makna bahasa darinya. Dalam bahasa Yunani, theo berarti tuhan, sedang logos bermakna ilmu. Penyatuannya menimbulkan arti: ilmu tentang ketuhanan. Pemaknaan semacam ini semakin dipertegas dengan maknanya secara terminologi.

Secara terminologi, teologi kerap diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tiga pokok utama pembahasan. Ketiganya saling berkait-kelindan. Karenanya, pelbagai "isme", sekte dan aliran muncul dari ketidaksepakatan dalam tiga masalah pokok di atas. Ketiganya adalah masalah esensi (dzât), atribut (sifât) dan aksi (af'âl) Tuhan, Sang Wajibul Wujud.

Sebagai misal, kaum Asy'ariyah—sebagai sekte terbesar penganutnya—selalu tak menyamakan dan menyatukan atribut Tuhan dengan esensi-Nya. Mereka mengatakan—misalnya—al-qidam adalah sifah azaliyyah zâidah 'ala al-dzât.(atribut azali tambahan pada zat). Dengan kata lain, esensi Tuhan—meski memiliki pelbagai atribut yang bermacam-macam—merupakan sebuah hakekat Zat Tuhan yang tak dapat diingkari. Mengingkarinya adalah sama saja dengan pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Konsep ini dikenal sebagai konsep The Unity of God (kesatuan Tuhan).

Dalam memperkuat argumentasinya, mereka mengembangkan teori atomik. Teori ini berdasar anggapan bahwa di alam terdapat bagian terkecil (partikel) yang tak dapat dibagi lagi (al-juz' al-ladzî lâ yatajazza'). Teori ini sering dikenal dengan teori al-jauhar al-fard.

Ibnu Rusyd (Averroes), senada dengan para filosof, tak menyetujui konsep Asy'ariyah ini. Menurutnya, selain konsep ini sulit dipahami, juga tak mencapai tingkatan burhâni; tak mampu memuaskan nalar dan tak mengantarkan keyakinan. Selanjutnya ia mengusulkan dua konsep penggantinya: dalîl al- 'inâyah dan dalîl al-ikhtirâ'.

Ketaksepakatan dalam tiga unsur teologi ini pulalah yang memicu mihnah khalq al-qurân (fitnah kemakhlukan Quran) di masa al-Makmun, al-Muktashim dan al-Wâstiq Muktazilah—sebagai madzhab resmi negara saat itu—bersikeras bahwa Quran adalah makhluk. Di hadapannya berjajar puluhan tokoh Aswaja—di antaranya Ahmad bin Hanbal —yang meyakini Quran adalah kalâm Allah. Keduanya sama-sama bertujuan tanzîh Allah (menyucikan Allah dari segala kekurangan), namun paradigma teologi mereka berbeda. Kelompok pertama tak mengakui bahwa Quran adalah representasi atribut Tuhan, sedang yang kedua meyakininya.

Sebagaimana yang penulis ungkapkan di awal bahwa filsafat telah merasuk dalam pembahasan teologi. Karenanya dalam pelbagai kesempatan, seringkali terma teologi dikaburkan dengan terma filsafat. Padahal esensi keduanya sangat berbeda. Nalaritas teologi hanya mencapai tingkat demonstratif (jadali) sedang filsafat haruslah bersandar pada nalaritas paripatetik (burhâni). Historisitas abad pertengahan Eropa pun mencatat keberatan sejumlah filosof mencampurkan filsafat dengan teologi (al-lâhût). Francis Bacon sebagai representasi paham neo-empirisme—misalnya—tak menyetujui pencampuran ranah teologi dengan filsafat.

Asumsi penulis, hal ini terjadi karena secara historis filsafat Yunani masuk ke dunia Islam pertama kali melalui teolog Muktazilah yang membaca karya-karya filsafat. Mereka mendapuk filsafat sebagai "jalan rasionalitas" di eranya melawan serangan dari agama Yahudi dan Nasrani disamping gencarnya pengaruh filsafat Yunani dan gnostisisme timur. Selanjutnya teolog Asy'ariyah pun dengan kemurnian filsafat Islam—menurut ungkapan Ali Sâmi Nasysyâr—melawan teologi Muktazilah. Kedua sekte tersebut saling debat sehingga terjadi fenomena saling mempengaruhi (dzâhirah taatstsuriyyah). "Pertarungan" ini bisa terbaca secara implisit dari karya Abul Hasan al-Asy'ari, perintis sekte Asy'ariyah, dalam karyanya Al-Ibânah 'an Ushûl al-Diyânah.

Asimilasi filsafat dan teologi pada akhirnya menjadi fakta empiris tak terbantahkan. Teologi yang sudah tercampur postulat-postulat filsafat—terutama logikanya—pada akhirnya pun juga merembet ke ranah disiplin ilmu keislaman lain, yakni ushul fikih. Imam Haramain, sebagai ushûliyyîn, di eranya berusaha membasisi ushul fikih dengan logika. Namun, pencampuran benar-benar terjadi di tangan murid utamanya, al-Ghazâli, tokoh eklektis tiga nalar sekaligus: retorika, paripatetik dan gnostik. Pembahasan berikut akan lebih berkonsentrasi pada "nasib" teologi di tangan The Proof of Islam ini.

Hakekat Zat dan Eksistensi Wajibul Wujud
Semua sekte dalam Islam sepakat bahwa Zat Tuhan adalah azaliyyah dan qadîmah. Sebelumnya, para filosof Yunani pun meyakini bahwa di alam luar sana terdapat Zat Maha Esa yang bersifat kekal. Hanya saja observasi mereka berbeda. Jika kaum filosof melalui logika, maka kaum Hasyawiyyah, misalnya, hanya menerima hal ini dengan teks transmisional; paradigma mereka hanya terkungkung dalam teks.

Meski mereka sepakat dalam konklusi, namun istidlâl mereka bervariasi menurut kecenderungan mereka yang varian. Varian ini terkadang sampai pada level "sesat" dalam pandangan sebagian sekte—misalnya Asy'ariyah memandang istidlâl filosof sesat. Atau tak mencapai level burhâni menurut filosof memandang Asy'ariyah. Berangkat dari konflik paradigma ini, selanjutnya timbul keragaman dalam masalah metode penetapan eksisitensi Wajibul Wujud, Sang Pencipta alam semesta. Pembahasan berikut akan difokuskan pada argumen al-Ghazali, sebagai representasi sekte Asy'ariyah, selanjutnya berusaha dikomparasikan dengan konsep sekte lain yang "kebetulan" berseberangan.

Al-Ghazali sebagai The Proof of Islam secara spesifik membahasnya dalam kitabnya Al-Iqtishâd fi Al-I'tiqâd. Kitab ini, meski tidak menggambarkan hakekat ide al-Ghazâli—menurut Sulaimân Dunyâ—merupakan sebuah kitab teologi al-Ghazali yang cukup maju; memuat pendapat dan argumen Asy'ariyah, khususnya melawan Muktazilah.

Mengenai eksistensi Wajibul Wujud, al-Ghazâli mengadopsi konsep analogi Aristo: premis minor (muqaddimah shughrâ), premis mayor (muqaddimah kubrâ), dan konklusi (natîjah). Ia mengungkapkan bahwa alam semesta adalah hâdits (baru/tercipta dari ketiadaan) dan setiap yang baru [pasti] memiliki sebab. Sehingga, alam semesta pasti memiliki sebab. Premis minor: alam semesta adalah baru; premis mayor: setiap yang baru [pasti] memiliki sebab; dan konklusinya: alam semesta [pasti] memiliki sebab.

Dalam menetapkan eksistensi Tuhan sebagai Wajibul Wujub, ia selanjutnya mendaftar pelbagai eksistensi. Eksistensi—papar al-Ghazâli—adakalanya mutahayyiz (dapat tertangkap panca indera) dan ghair mutahayyiz (tak tertangkap panca indera). Yang pertama, yakni mutahayyiz; jika tak tersusun dari beberapa bagian disebut jauhar fard (partikel/bagian terkecil suatu benda); jika tersusun dinamakan jism (body). Sedang yang kedua, yakni ghair mutahayyiz; jika membutuhkan tempat/wadah disebut 'aradl; jika tak membutuhkan sesuatupun, maka ia adalah Zat Tuhan Maha Esa. Sehingga Zat Tuhan adalah Zat ghair mutahayyiz yang tak membutuhkan apapun dalam eksistensinya. Para ahli kalam menyebut ini sebagai Wajibul Wujud; eksistensinya tak membutuhkan eksistensi lain, di saat eksistensi lain [pasti] membutuhkan eksistensi-Nya. Karenanya eksistensi lain disebut Mumkinul Wujud (eksistensinya berkemungkinan ada atau tidak).

Al-Ghazâli dalam titik ini telah mampu membangun teologi Asy'arian dengan sangat sistematis. Namun sebagaimana biasanya dalam setiap karyanya, ia selalu berusaha menghadirkan argumen lawan. Tak terkecuali dalam kitab al-Iqtishâd fi al-I'tiqâd ini. Selepas membasisi argumentasinya dengan premis Aristotelian, ia pun beranjak membasisi premis Aristotelian itu sendiri, yakni selepas menghadirkan keberatan lawan debatnya.

Premis mayor: setiap yang baru [pasti] memiliki sebab, baginya adalah sebuah badîhiyyah yang [seharusnya] undebateable. Ia meyakini bahwa debat ini bermula dari ketidakpahaman akan makna hâdits. Hâdits—paparnya—adalah sesuatu yang sebelumnya tak wujud, kemudian mewujud sebagai suatu eksistensi. Eksistensi ini dalam kewujudannya membutuhkan murajjih (faktor penyebab/ penguat) keeksistensiannya. Dalam pandangannya, murajjih ini tak lain adalah sebab. Dalam hal ini adalah Zat Wajibul Wujud. Dengan argumen ini—yang paparnya [sebenarnya] bukan merupakan argumen, namun hanya penjelasan makna hâdits—al-Ghazâli membuktikan bahwa premis mayor ini merupakan badîhiyyah yang [seharusnya] undebateable, kebalikan dari nadlari yang debateable.

Premis minor: alam semesta adalah baru—paparnya—terkonsep melalui nalar argumentatif (burhâni) yang bersandar pada dua premis lagi. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa yang dimaksud alam semesta di sini tak lain adalah jauhar dan 'arald yang diakui eksistensinya secara mufakat, kecuali "segelintir" filosof Yunani yang hanya mengakui 'illah, bukan jauhar dan 'aradl. Bagi al-Ghazâli, tak perlu membangun argumentasi kembali dalam membuktikan eksistensi jauhar dan 'aradl karena keduanya dapat ditangkap panca indera yang jelas membuktikan eksistensinya.

Dua premis ini adalah: tiap jism tak akan pernah terlepas dari sesuatu yang hâdits. Sedang tiap yang mengandung hâdits adalah hâdits pula. Konklusinya, tiap jism adalah hâdits. Frase pertama adalah premis minor, sedang yang kedua adalah premis mayor. Dalam kesepakatan Mutakallimin jika dua premis pendahuluan telah diterima maka sudah barang tentu konklusi yang dicapai adalah niscaya. Fakta ini membuktikan—paling tidak—al-Ghazâli, dengan segala sikap kontranya terhadap filosof, ia tetap "sudi" mengambil ilmu dari mereka. Dalam hal ini adalah logika Aristoteles yang berulang kali diadopsi al-Ghazâli.

Asumsi penulis, usaha al-Ghazâli dalam hal ini dapat dibaca minimal dari dua pendekatan. Pertama, sosio-politik. Masa al-Ghazâli adalah masa di mana Dinasti Saljukiyah berkuasa. Masa itu terjadi pergolakan cukup tegang antar tiap sekte dalam Islam termasuk filosof. Masa itu juga mencatat persaingan ketat Fuqahâ’ dalam memperebutkan posisi normatif dalam pemerintahan. Hal ini paling tidak menimbulkan gejolak yang luar biasa dalam masyarakat. Mereka semakin jauh dari tuntunan agama dan teologi Aswaja yang murni. Karenanya al-Ghazâli sebagai The Proof of Islam merasa perlu memperbaiki kondisi sosial dengan ajaran teologi yang menurutnya sesuai dengan ajaran Islam Aswaja, khususnya menurut Asy'ariyah.

Kedua, sosio-kultural. Masa al-Ghazâli mencatat bahwa pengaruh filosof saat itu sangat luas, terutama pengaruh al-Fârâbi dan Ibnu Sîna. Masa itu diskursus filsafat sangat berwibawa di kalangan elit ilmuwan. Logika Aristo menjadi tak tertandingi di masanya, menyurutkan wibawa diskursus agama di tangan para Ulama. Asumsi penulis, sikap al-Ghazâli mengadopsi logika Aristo bisa dipahami sebagai usahanya untuk membasisi teologi Asy'ariyah yang semakin surut pamornya di kalangan elit ilmuwan. Seakan-akan ia ingin mengatakan pada masyarakat bahwa diskursus agama—terutama teologi—tak bertentangan dengan filsafat, bahkan menandingi rasionalitasnya. 'Ali Sâmi Nasysyâr meyakini bahwa di tangan al-Ghazâlilah untuk pertama kalinya dalam sejarah perkembangan, ilmu Islam bercampur dengan logika Yunani, terutama logika Aristo. Demikianlah rasionalisasi al-Ghazâli dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Dengan mengadopsi logika Yunani, tepatnya logika Aristo, al-Ghazâli merasa “percaya diri” menyodorkan argumen ilmiahnya kepada kalangan populis dan juga kaum elitis. Kaum populis diwakili sekelompok Fuqahâ’ dan semua kalangan awam. Sedang kaum elitis terwakili kaum Mutakillimin dan sejumlah Filosof. Sekarang mari kita komparasikan argumen al-Ghazâli ini dengan pendapat Filosof, khususnya Ibnu Rusyd (Averroes) sebagai kritikus internal Asyariyah sekaligus “lawan tanding” al-Ghazâli yang ternama.

Dekonstruksi; Upaya Paripatetis Averroes
Ibnu Rusyd dalam al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah berusaha melakukan prosesi otokritik internal terhadap bangunan epistemologi argumentasi Asyariyah dalam teologi. Baginya, sejumlah argumentasi Asyariyah dalam beberapa persoalan partikular sangat fatal karena tak mencapai tingkatan burhâni/paripatetik: tak memuaskan nalar sekaligus sukar dipahami. Meski sejatinya ia adalah seorang “Asyariyan jenius”, namun label Asyariyah tak membuatnya ragu untuk mengkritik bangunan epistemologi Asyariyah. Bahkan tak berlebihan pula jika kita akan membaca sejumlah ungkapan Averroes yang seakan “menyesatkan” argumen Asyariyah secara umum. Ini tak lain adalah sejumlah rangkaian kritik ilmiahnya terhadap al-Ghazâli, tokoh yang sangat berpengaruh dalam evolusi teologi Asyariyan.

Langkah awal Ibnu Rusyd dalam usaha meruntuhkan argumen Asyariyah adalah berusaha membuktikan kerapuhan argumen mereka. Ia berkeyakinan bahwa argumen Asyariyah dalam menetapkan eksistensi Tuhan berawal dari tiga premis yang sama sekali tak mencapai tingkatan burhâni. Hal ini disebabkan karena pemaksaan mereka melakukan prosesi qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid: menganalogikan hal metafisis kepada sesuatu yang empiris. Sebuah prosesi analogi yang rancu bagi para Filosof, termasuk Aristo; sandaran yang terakhir ini dalam menggapai alam mâ warâ’ al-thabî’ah/metaphisic adalah dengan menganalogikan alam empiris demi menggapai alam metafisis. Jika demikian, pembasisan al-Ghazâli menggunakan logika Aristo pada argumen Asyariyah mengalami absurditas. Karena logika yang mereka terapkan terbalik dan salah langkah memulai prosesi analogi. Hal ini terlihat jelas karena mereka berangkat dengan pra-konsep yang ghâib kemudian baru beranjak “membangun” alam empiris (syâhid) dengan cara yang dapat membasisi pra-konsep mereka yang metafisis tersebut.

Sebagai catatan, Asyariyah berargumen demi menetapkan eksistensi Tuhan, pada mulanya, dengan membuktikan terlebih dahulu akan ke-hadits-an alam semesta. Mereka membuktikannya dengan teori al-jauhar al-fard/particle. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kerapuhan argumen ini terletak pada konsep atomik yang dikembangkan Asyariyah. Ia meyakini bahwa konsep al-jauhar al-fard (partikel, bagian terkecil dari suatu benda) yang dikembangkan Asyariyah tak dapat dibuktikan secara paripatetik. Mereka hanya mampu membuktikannya dengan argumen retoris yang tak mencapai tingkatan burhâni. Ia hanya bertumpu pada tamtsîl bayâni, semisal ungkapan mereka: gajah lebih besar daripada semut karena di dalam gajah terdapat bagian yang lebih banyak daripada semut. Kemudian mereka berkesimpulan bahwa bagian-bagian gajah terbatas sebagaimana pula bagian dalam semut. Karena andaikata tidak demikian, maka kita tak sah mengungkapkan bahwa bagian semut lebih sedikit daripada gajah. Di sinilah titik kerancuan argumen Asyariyah membuktikan adanya konsep al-jauhar al-fard. Hal ini disebabkan adanya pencampuran “kuantitas terpisah” (al-kammiyah al-munfashilah) dengan “ kuantitas yang tak terpisah” (al-kammiyah al-muttashilah). Yang pertama berarti kuantitas bilangan jumlah gajah atau semut. Sedang yang kedua merupakan kuantitas bagian dalam [tubuh] gajah atau semut. Padahal mâ yashduqu ‘ala al-munfashilah lâ yashduqu ‘ala al-muttashilah: “kuantitas terpisah” [semisal jumlah gajah lebih banyak daripada semut] tak selalu berbanding lurus dengan “kuantitas tak terpisah” [semisal gajah lebih besar daripada semut]. Karenanya kita tak sah menyatakan dengan kacamata “kuantitas tak terpisah” bahwa gajah lebih banyak daripada semut. Juga kita tak sah pula mengungkapkan dengan kacamata kuantitas jumlah bahwa gajah lebih besar daripada semut. Kita hanya sah mengungkapkan, pada yang pertama, bahwa gajah lebih besar daripada semut. Selanjutnya, kita juga hanya sah mengungkapkan, pada yang kedua, bahwa gajah lebih banyak jumlahnya daripada semut. Dengan argumen ini Ibnu Rusyd telah benar-benar meruntuhkan argumen Asyariyah akan adanya al-jauhar al-fard. Dalam titik ini ia telah mampu membangun premis pertama yang merancukan argumen Asyariyah.

Dalam premis kedua Ibnu Rusyd berusaha kembali meruntuhkan argumen Asyariyah, tepatnya dalam prosesi qiyâs ghâib ‘ala al-syâhid. Asyariyah berargumen bahwa alam semesta adalah hâdits atas dasar anggapan bahwa ia tersusun dari bagian-bagian terkecil yang tak dapat terpecah lagi (al-jauhar al-fard). Sedang yang terakhir ini juga hâdits. Sehingga, segala yang tersusun dari jenis yang hâdits adalah hâdits pula. Dalam titik ini mereka mengeneralisir bahwa semua jauhar adalah hâdits. [Dalam konsep mereka, al-mutahayyiz terbagi menjadi dua: yang tak dapat dipecah lagi (al-jauhar al-fard) dan yang masih dapat terpecah (al-jism). Argumen ini bagi Averroes sangat rancu karena kita tak sah menganalogikan benda luar angkasa yang tak terlihat (ghâib) kepada benda bumi yang terlihat (syâhid). Dalam artian, Ibnu Rusyd tak menyangsikan ke-hâdits-an benda bumi yang terlihat. Namun problemnya adalah kita tak sah menggenaralisir benda luar angkasa hanya karena kita melihat benda bumi. Hal ini tentunya adalah generalisir yang sangat tak ilmiah. Karenanya konsep qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid perlu disangsikan kembali. Demikian langkah kedua Ibnu Rusyd dalam upaya meruntuhkan argumen Asyariyah.

Selanjutnya, argumen mereka yang menyatakan bahwa segala yang tak terlepas dari jenis hâdits maka hâdits pula. Bagi Ibnu Rusyd premis ini masih kurang kokoh. Karena ia akan menimbulkan pemahaman ganda. Pertama, ia kemungkinan dapat diartikan: segala hal yang tak terlepas dari jenis hâdits tanpa ditentukan mana yang tak terlepas tersebut. Kedua, ia dapat pula dimengerti: segala hal yang tak terlepas dari pelbagai hâsits namun masih [berkemungkinan] terlepas pada beberapa bagiannya. Sehingga segala hal yang terlepas dari jenis hâdits sama sekali tak menutup kemungkinan ada bagian-bagian tertenu yang tak hâdits, termasuk di antarnya “tempat”. Hal ini karena mungkin sekali “tempat” tersebut: al-jism ditempati ‘aradl yang tak henti-henti silih berganti (ghair mutanâhiyah). Adakalanya selalu berlawanan [semisal hitam dan putih] dan adakalnya pula tak berlawanan [semisal gerakan-gerakan yang tak ada hentinya]. Jika makna pertama yang dimaksud, maka presmis tersebut benar secara burhâni. Namun sayangnya kaum Asyariyah lebih memilih kemungkinan yang kedua. Agaknya kalangan Mutaakhirin Asyariyah menyadari akan kerancuan argumennya sehingga mereka berusaha membendungnya dengan ungkapan: tak mungkin satu tempat (al-jism) akan ditempati secara beriringan beberapa‘aradl yang tak ada hentinya. Namun Ibnu Rusyd masih menyadari akan kelemahan ini. Ia meyakini bahwa ungkapan di atas bisa benar jika yang dimaksud adalah ‘aradl yang melakukan “gerakan lurus” (al-harakah al-mustaqîmah), bukan yang “gerakan melingkar” (al-harakah al-dâiriyyah). Artinya, dalam gerakan yang kedua [semisal, jika ada awan mendung pasti telah ada uap yang naik ke langit, jika ada uap yang naik ke langit pasti bumi telah basah, jika bumi basah pasti telah terjadi hujan, jika terjadi hujan pasti telah ada awan mendung sebelumnya...dst], hal itu sama sekali tak mengharuskan berakhirnya gerakan tanpa henti sebelum terjadinya gerakan ‘aradl tertentu, semisal hujan.

Rekonstruksi; Tawaran Averroes
Demikianlah secara ringkas argumen Ibnu Rusyd melumphkan konsep al-jauhar al-fard yang diaplikasikan Asyariyah dalam menetapkan ke-hâdits-an alam semesta. Mereka beorientasi dengan ini untuk selanjutnya menetapkan adanya Pencipta Alam Semesta. Namun Ibnu Rusyd mencoba mendekonstruksinya untuk selanjutnya ia rekonstruksi kembali. Karena baginya, selama tujuannya adalah demi menetapkan eksistensi Tuhan, selayaknya dilakukan langsung lewat alam raya ciptaan-Nya. Bukan melalui cara rumit yang bertele-tele dengan memperkirakan ke-hâdits-an alam. Ia menegaskan cara inilah [juga] yang diterapkan Quran dalam menetapkan eksistensi-Nya. Selanjutnya mari kita simak bagaimana Ibnu Rusyd mengajukan proposal proyek besarnya menggantikan teori Asyariyah.


Dari pengalamannya “membedah” Quran secara filosofis, Ibnu Rusyd meramu konsep besarnya dalam dua terma: dalîl ‘inâyah dan dalîl ikhtirâ’. Ia berujar lantang:

“Metode yang Quran tuntut pada mayoritas untuk memasuki lewatnya, jika [kita mau] mengobservasi Quran [lewat pendekatan induktif], terangkum dalam dua varian: pertama, metode memperhatikan (‘inâyah) manusia dan gejala penciptaan segala ciptaan demi kesejahteraannya, kita menyebutnya dengan dalîl ‘inâyah. Kedua, metode memandang segala hal yang termanifesto dalam penciptaan (ikhtirâ’) pelbagai esensi makhluk yang eksis, semisal penciptaan kehidupan pada benda-benda padat-mati, kemampuan fisik panca indera dan akal. Kita menamainya dengan dalîl ikhtirâ’...”

Selanjutnya kita akan mengupas lebih dalam kedua argumen di atas dengan poin-poin di bawah ini:
a. Dalîl ‘Inâyah atau al-Asbâb al-Ghâiyah
Secara filosofis Aristotelian, Ibnu Rusyd berusaha membangun argumen ini menggunakan pendekatan premis-konklusi. Hal ini jelas tergambar dalam pernyataannya berikut:

“Adapaun metode pertama, maka ia terbangun melalui dua landasan: pertama, bahwa segala hal eksis yang ada di [dunia] ini sesuai dengan [karakteristik dan watak] eksistensi manusia. Kedua, kesesuaian ini adalah kepastian (dlarûrah) di sisi Pembuatnya yang bermotif (qâshid) dan berkehendak (murîd). Hal ini karena tak mungkin kesesuaian ini terjadi karena kebetulan”

Sehingga konklusi yang dicapai adalah keniscayaan eksistensi Pelaku berkehendak yang menjadikan segala eksistensi sesuai dengan manusia. Pelaku ini tak lain adalah Zat Maha Kuasa Sang Wâjibul Wujûd. Eksplisitnya, argumen ini berusaha mengenal Tuhan melalui segala ciptaan-Nya. Ini merupakan metode para Filosof. “Karena syariat yang khusus bagi para Filosof adalah observasi terhadap segala eksistensi. Hal ini karena Sang Pencipta tak disembah dengan penghambaan yang lebih mulia daripada mengenali segala ciptaan-Nya yang akan mampu membawa pengenalan terhadap Zat-Nya secara hakekat yang merupakan bentuk termulia dari aktifitas [manusia] di sisi-Nya.”

Dalam titik ini, Ibnu Rusyd telah mengaplikasikan konsep premis-konklusi Aristo. Hal ini semakin menguatkan bahwa tak ada kontradiksi antara filsafat dengan syariat. Usahanya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan dengan metode ini jelas merupakan suatu bukti otentik ketangguhannya mempertahankan filsafat di tengah kecaman para pembencinya. Sikapnya dalam hal ini juga bisa dipandang sebagai “koreksi” atas usaha al-Ghazâli membangun argumen Asyariyahnya dengan mengadopsi logika premis-konklusi Aristo. Dengan kata lain, Ibnu Rusyd ingin memberikan “contoh cerdas-tepat” dalam mengaplikasikan logika Aristo tersebut. Artinya, kesalahan al-Ghazâli dalam mengaplikasikan logika Aristotelian bukan terletak pada logika tersebut. Namun problemnya adalah kesalahan “titik-tolak”-nya membangun logika tersebut; menggunkan pendekatan qiyâs al-ghâib ‘ala al-syâhid: sebuah pendekatan yang tak diridlai para Filosof.

Jika kita jelaskan melalui logika Aristo, kita akan menemukan bahwa “alam semesta dengan segenap isinya sesuai dengan manusia” adalah premis minor. Sedang ungkapan “segala yang sesuai pada setiap bagiannya dengan satu karakter dan demi satu tujuan tertentu yang sistematis pastilah merupakan ciptaan” adalah premis mayor. Sehingga konklusi yang dihasilkan adalah “alam pasti dicipta dan memiliki Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa”.

Secara genealogi, konsep ini [dalîl al-‘inâyah] sebenarnya bukan merupakan barang baru. Ia sudah lama tercetuskan di era Filosof Yunani semisal Aristo, Plato dan Phytagoras; atau Barat seperti Saint Thomas Ackquinas sebelum era Ibnu Rusyd. Ia juga telah merasuk dalam pembahasan para Filosof Islam Timur semisal al-Kindi dan Ibnu Sîna; atau Barat seperti Ibnu Thufail dalam Hay bin Yaqadzân-nya. Ia bahkan telah meresap ke dalam karya-karya Mutakallimin baik Asyariyah maupun Muktazilah. Namun memang di tangan Ibnu Rusyd-lah konsep ini mengalami “pembasisan” yang cukup kuat; ia melakukan perekatan pendapatnya tersebut dengan konsep kausalitas dan kepastian hubungan antara sabab dan musabbabât. Sebagai catatan, perlu diakui pula konsep ini pula tak kering dari kritik yang “menghantuinya” baik ketika masih di era Yunani maupun era renaissance Eropa di tangan Emanuel Kant dan Henri Bergson. Inti dari kritik mereka ini adalah bahwa sangat naif menganalogikan Tuhan Sang Pencipta alam semesta dengan manusia si pembuat benda-benda duniawi. Karena karakter pembuatan benda duniawi ini tak sama dengan karakter ciptaan Sang Maha Kuasa.

b. Dalîl al-Ikhtirâ’
Argumen ini juga masih berhubungan dengan konsep kausalitas dan kritik akan kemungkinan pembuatan alam secara kebetulan sebagaimana argumen sebelumnya. Dalam kesempatan kedua ini, Ibnu Rusyd juga masih menggunakan pendekatan logika Aristo. Hal ini terbaca jelas dari ungkapannya:

“Adapun dalîl ikhtirâ’ maka ia mencakup [penciptaan] eksistensi pelbagai fauna, flora dan angkasa raya. Metode ini terbangun atas dua landasan yang [tersimpan] secara potensial dalam fitrah setiap manusia. Pertama, bahwa segala eksistensi ini telah tercipta. Hal ini dapat diakui secara mandiri dalam flora dan fauna... Adapun yang kedua, bahwa setiap ciptaan pasti memiliki pencipta. Sehingga [kesimpulan yang dicapai] bahwa setiap eksistensi pasti memiliki Pelaku dan Penciptanya..”

Sehingga manakala argumentasi ini menimbulkan keyakinan yang mampu mengantarkan pada kepercayaan akan eksistensi Zat Maha Esa, maka [sebenarnya] keyakinan ini bersumber dari pengetahuan [mengamati] segala eksistensi di dunia ini. Artinya, observasi pelbagai eksistensi yang ada di alam raya—sebagaimana orientasi filsafat itu sendiri: al-bahts ‘an al-maujûd min haisu huwa maujûd—dapat mengantarkan seseorang mencapai tingkatan, bukan hanya meyakini eksistensi Tuhan, namun juga mengenali-Nya dengan hakekat pengetahuan yang sebenarnya.

Dalam titik ini Ibnu Rusyd telah berhasil merekonstruksi bangunan epistemologi yang dicarut-marutkan Asyariyah dalam argumentasi eksistensi Tuhan. Jika kritikannya di awal pembahasan merupakan upaya dekonstruksi internal menggunakan argumentasi paripatetik (adillah burhâniyah), maka ia pun membuktikan untuk tidak hanya “menghancurkan”—sebagaimana kebiasaan para pembenci filsafat—namun juga melakukan upaya rekonstruksi “puing-puing” epistemologi yang telah hancur sehingga menjadi bangunan yang lebih elegan dan mewah. Kelebihan “bangunan” baru ini tak hanya dari segi mutu dan kualitas [karena menggunakan argumentasi paripatetik], namun juga dari segi efisiensi [karena dapat digunakan segala tingkatan nalar manusia]. Manusia awam sekalipun mampu mengaplikasikannya dalam rangka membuktikan eksistensi Tuhan. Bukankah Quran pula yang menuntun kita untuk memperhatikan alam raya beserta isinya demi membuktikan eksistensi Zat Maha Kuasa? Saya kira tak perlu untuk menyebut ayat per ayat Quran dalam tulisan ini. Saya khawatir tulisan ini akan menjadi “parade ayat” yang menjemukan. Karya Ibnu Rusyd al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah dalam hal ini saya kira sangat relevan untuk dirujuk langsung karena memuat sedemikian banyak argumentasi yang menawan; memadukan nalar dengan teks-teks Quran.

Apakah konsep Ibnu Rusyd ini paradoks dengan konsep Aristo karena yang pertama menggunakan pendekatan qurani sedang yang kedua menggunakan pendekatan akal? ‘Âbid al-Jâbiri dalam hal ini sangat cantik menjelaskannya yang terekam dalam studinya terhadap karya Ibnu Rusyd al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah. Ia menjelaskan bahwa tak ada yang paradoks dalam hal ini. Karena dalîl ‘inâyah tak lain adalah representasi konsep alam (kosmos). Sedang dalîl ikhtirâ’ adalah buah dari konsep pembuatan (al-shun’), bukan penciptaan dari ketiadaan (al-khalq min al-‘adam) sebagaimana milik Asyariyah. Hal ini karena ikhtirâ’ di sini adalah penciptaan suatu bentuk (al-shûrah) dalam sebuah materi (al-mâddah), semisal pembuatan kursi dalam sebongkah kayu. Setiap materi selalu mengandung bentuk [kondisi sebongkah kayu sebelum menjadi kursi]. Keadaan ini terus-menerus dengan grafik menurun sampai kepada materi yang tak tertentu (al-mâddah ghair al-muta’ayyinah) yang merupakan al-huyûli atau materi pertama (al-mâddah al-ûla). Demikian pula keadaan tersebut terus-menerus dengan grafik menanjak sampai kepada pelbagai bentuk yang tak berada dalam pelbagai materi (al-shuwar al-lati laisat fi mawâd). Sebuah bentuk yang tak berada dalam sebuah materi tersebut adalah bentuk ruhani (shûrah rûhâniyah), yakni jiwa (al-nafs). Jiwa manusia akan menjadi sempurna, yakni terlepas dari segala materi: fisik dan pelbagai ragamnya, dengan cara memperdalam pengetahuan sehingga pada suatu titik tertentu akan menjadi akal. Selanjutnya segala objek pemikirannya akan menjadi “pemahaman yang telanjang” (mafâhîm mujarradah) yang tak membutuhkan alam fisik apapun. Dalam titik ini ia akan menjadi “akal terpisah” (al-aql al-mufâriq) atau mendekatinya. “Akal terpisah” ini adalah “akal-akal samawi” (al-uqûl al-samâwiyah) yang bertingkat-tingkat menurut kadar kemuliaan dan ketinggiannya sampai kepada “akal pertama” (al-aql al-awwal) atau “penggerak pertama” (al-muharrik al-awwal) yakni Tuhan Yang Maha Kuasa menurut para Filosof. Dialah yang memberi bentuk pada setiap materi, baik tanpa perantara maupun dengan perantara akal samawi. Perantara ini, oleh para Filosof Islam, disebut “pemberi bentuk” (wâhib al-shuwar). Prosesi pemberian bentuk adalah prosesi penciptaan kehidupan dalam materi-materi yang mampu menerimanya. Proses ini sama sekali tak bertentangan dengan agama. Hanya saja dalam beberapa seginya masih membutuhkan kinerja takwil untuk mengatasi sejumlah teks-teks agama. Kinerja takwil ini hanya dapat dipahami oleh para “ulama” dalam sejumlah kitab-kitab filsafat yang mempelajarinya.

Epilog
Demikianlah sekelumit dialektika filosofis antara al-Ghazâli dan para Filosof seputar konsep eksistensi Tuhan Sang Wajibul Wujud. Penulis harap “makalah kecil” ini menjadi pertimbangan filosofis masa depan demi mencapai konsep teologi Islam humanis dan lebih mencerahkan. Salam

Blog penulis : www.masnora.wordpress.com

Tuesday, 10 November 2009

About Ghazalian Center Study Club

Cuap-Cuap

Sebagai sebuah komunitas pelajar, Masisir selayaknya menjadi agent of change bagi peradaban. Sebagai penerus bangsa, Masisir seharusnya memiliki independensi yang mantap. Berbekal wawasan luas dan kecakapan yang matang, seharusnya Masisir memiliki kekayaan intelektual yang mencerahkan. Inklusivitas pemikiran dan paradigma menjadi prioritas dalam hal ini. Paradigma fundamental dan radikal sejatinya adalah musuh bersama, terutama pelajar; komunitas intelektual yang harus dan akan selalu mampu merumuskan yang terbaik bagi masa dan eranya.
Dalam semangat ini, Ghazalian Center Study Club lahir di tengah komunitas intelektual Masisir. Ia berusaha mengambil bagian dalam dinamika intelektual Masisir. Ia juga turut andil mengkayakan Masisir dengan wawasan turats yang mumpuni. Ia berupaya memandang liberasi turats bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kekayaan. Dengan paradigma yang inklusif diharapkan Ghazalian Center Study Club (GCSC) mampu mentransformasikan informasi intelektual yang objektif, bermetodologi dan ilmiah.

Latar Belakang Ghazalian Center Study Club

Berawal dari kesadaran intelektual (intellectual awareness), berangkat dari komunitas IKNK, tiga kawan mulai merembukkan sebuah ide besar yang melangit. Dengan tujuan turut andil dalam meningkatkan kesadaran intelektual; Amirallah Asy’ari, Ahmad Hilmi dan Ahmad Nafis Qurthubi, S. Hi. (para masyayikh GCSC) mengusulkan ide perintisan sebuah kajian yang meningkatkan intelektualitas Masisir. Maka lahirlah Ghazalian Center Study Club dan Nizameyyah Center sebagai saudara kembar kakak-beradik pada tanggal 11 November 2006. Kemudian langsung mengadakan kajian dengan anggota 6-7 orang pada awal tahun 2007. Karena berbagai pertimbangan yang matang, akhirnya pada akhir tahun 2007 GCSC berhasil menjadikan dirinya sebagai Badan Otonom di IKNK. Sehingga dipilihlah nama Ghazalian Center Study Club yang memiliki makna filosofis, sekaligus visi-misi yang cukup signifikan. Selain itu latar belakang sosiologi juga menjadi salah satu faktor pemilihan nama ini.
Dalam sisi latar belakang sosio-kultural, nama Al-Ghazali, seorang tokoh kharismatik klasik, sengaja dicomot mengingat bahwa background mayoritas Masisir adalah pesantren yang sangat mengagungkan sosok Al-Ghazali. Perlu dicatat, bahwa realitas empirik pesantren di Indonesia memang tak lepas dari pemikiran Al-Ghazali, terutama yang dalam naungan Nahdlatul Ulama (NU). Hampir seluruh—jika enggan mengatakan semua—pesantren di Indonesia pasti memiliki hubungan khusus dengan karya-karya Al-Ghazali, khususnya dalam bidang tasawuf. Hubungan tersebut baik dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada seluruh jenjang pendidikan dan dalam tempo yang konstan, maupun dalam kurikulum-kurikulum “kilat” seperti dalam pesantren Ramadlan di pelbagai pesantren. Alasan ini mungkin yang menempati rating pertama “kekaguman” orang pesantren terhadap sosok Al-Ghazali.
Al-Ghazali memang sosok ensiklopedis. Hampir dalam tiap diskursus keislaman ia selalu mengambil bagian darinya. Ia juga tercatat dalam sejarah sebagai tokoh eklektis yang mampu mendamaikan antara ketiga nalar epistemik: retoris, gnostis dan paripatetis. Selain itu, Karya magnum opus-nya, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn sebagai bukti bahwa ia juga mampu mendamaikan antara diskursus tasawuf dengan syariat; ia membungkus ajaran gnostik-sufisme dengan nalar retoris-syariat.
Dengan prestasi itu, memang sangat laik sosok Al-Ghazali menjadi idola, tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh belahan dunia. Ia seorang mujaddid abad kelima yang namanya harum terkenang sejarah.
Namun, kebesaran Al-Ghazali di Indonesia serasa hambar, karena masyarakat Indonesia tak akrab dengan semua karyanya; mereka hanya mengenal Al-Ghazali lewat Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Bidâyat al-Hidâyat, Ayyuhal Walad dan kitab tasawuf lain. Seakan Al-Ghazali hanya seorang tokoh sufi. Mereka pun terlalu mengangungkannya, bahkan melebihi keakraban mereka dengan pelbagai variabel karyanya. Sehingga, Ghazalian Center Study Club berharap mampu memberikan andil dalam mengkayakan wacana seputar Al-Ghazali dan komparasinya dengan para tokoh peradaban lain. Semua alasan di atas kiranya menjadikan alasan filosofis pencomotan nama Al-Ghazali.

Visi-Misi Ghazalian Center Study Club

Selain turut andil dalam usaha membudayakan intelektualitas dalam Masisir, GCSC juga berorientasi memberikan pemahaman yang komperhensif, terutama dalam sosok Al-Ghazali. GCSC juga memiliki misi yang teramat mulia: memberikan transformasi intelektual sedini mungkin bagi Masisir sebagai bekal terjun di masyarakat. Hal ini mengingat semakin meruyaknya paham-paham fundamentalisme dan radikalisme dalam Islam [lokal] Indonesia. Karenanya GCSC selalu mengutamakan paradigma progresif-inklusif dalam mengayak sumber-sumber intelektualitas. Dengan paradigma progresif, GCSC berharap turut andil dalam mencerahkan pemikiran Masisir untuk selanjutnya ditransformasikan ke Indonesia. Dengan paradigma inklusif, GCSC juga berharap mampu menyerap ide pencerahan sebanyak mungkin dari siapapun dan dari manapun ia berasal. Ibarat [konon] kata Nabi, “Hikmah bagaikan barang hilang milik orang mukmin. Dimanapun ia temukan ia akan ambil”.

Metodologi Ghazalian Center Study Club

Dalam sebuah forum kajian, metodologi mutlak diperlukan. Ia merupakan sebuah rasionalisasi era kini yang mampu menjadikan kajian ilmiah semakin ilmiah dan memiliki standar objektivitas yang memadai. Sebuah ironi barangkali, kita sebagai Masisir seringkali mendapati racauan pedas dari kalangan akademisi lain. Seringkali opini mereka terbangun bahwa mahasiswa Timur Tengah kaya wacana namun miskin metodologi. Berbeda dengan mahasiswa Barat yang selalu kaya metodologi, meski terkadang juga miskin wacana.
Racauan di atas barangkali yang mendorong GCSC untuk berusaha selalu menggunakan metodologi yang mutakhir dalam membaca dan menganalisis wacana turats Islam. Memang, perlu diakui bersama bahwa pelbagai metode telah dilahirkan di Barat. Namun, kita tak pernah akan bersalah jika kita membaca wacana turats kita dengan metode mereka. Metode ibarat pisau, tergantung kita gunakan untuk apa. Bahkan, sebuah keengganan menerapkan metode modern dan terkini merupakan sebuah “dosa intelektual” yang telah terbukti mengungkung umat Islam dalam kemerosotan dari pelbagai aspek, termasuk intelektualitas yang paling parah. Bukankah kita selalu tertuntut untuk berijtihad dalam beragama? Dan GCSC meyakini bahwa aplikasi metode darimanapun akan lebih mengkayakan wacana peradaban.
Disamping metode komparatif yang sering dipakai, metode lain juga turut antri. Fenomenologi, epistemologi, strukturalis, arkeologi dan sosiologi mungkin sederet metode yang akan mewarnai kajian GCSC. Hal ini tak terlepas dari bahwa GCSC di samping menyelam ke dalam tumpukan turats yang menggunung, ia juga rela mengais-ngais wacana dari para pemikir kontemporer, semisal ‘Âbid al-Jâbiri, Yahya Muhammad, Abdurrahman Badawi, Maitsam Janabi, Sulaiman Dunyâ, ‘Âthif al-‘Irâqi dan seabrek pemikir Timur Tengah lain. Selain di Timur Tengah, para pemikir Barat juga sering menjadi langganan “toko kulakan” dalam wacana ke-Ghazali-an. Sebut saja Nicholson, Macdonald, Watt dan sejumlah Islamolog dan Filosof Barat terkemuka lain. Sehingga GCSC berusaha mengembangkan wacana turats Islam dengan pembacaan yang termutakhir dari para pemikir.
Kiranya, uraian singkat di atas dapat memberikan gambaran singkat tentang GCSC yang diharapkan semakin membuming dan menjadi bagian penting dalam andil mencerdaskan bangsa, terutama Masisir.

Kairo, 23 Maret 2009
[Regard]

Ajaran Tasawuf Imam Ghazali

Al-Gazali adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazali dan Shalahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang Muslim yang paling dekat dengan orang Kristen.

Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum Muslim terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok : kelompok defensif yang terdiri atas ulama agama yang telah merasa puas dengan Al-Qur’an dan Hadits, kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai mazhab, filsafat, dan rasionalisme, kelompok Mu’tazilah yang mengambil filsafat Yunani dan logika Aristoteles, kelompok Syi’ah Batiniyah yang berpendapat bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran batin yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang hatinya jernih, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat kepada Allah bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya internal bukan dengan akal / sunnah, dan kelompok filosof yang mengikuti filsafat Plato modern. Semua kelompok ini selagi menarik pemikiran Islam pada zaman Al-Gazali.

Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazali dapat menjadikan sunnah, filasafat, dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan seimbang. Dia dapat menempatkan ilmu agama, sufisme, dan filsafat pada satu pemikiran yang logis dan teratur. Dia dapat mengembalikan pengikut sufi pada syari’at lahir, dan mengembalikan para filosof yang mengandalkan akal semata kepada jalan yang benar.

Karya terpenting Al-Gazali ialah Ihya ‘Ulum al-Din. Para Fukaha menilai kitab ini hampir mendekati kedudukan Al-Qur’an. Buku lainnya yaitu al-Munqidz min al-Dhalal.

Singkatnya, semua upaya Al-Gazali yang betul-betul ikhlas telah mewujudkan keteladanan. Dia sangat berakhlak, zuhud, sederhana, toleran, dan pemaaf. Itulah hal-hal yang membuatnya begitu terhormat dalam sejarah manusia.


BAB I

RIWAYAT HIDUP Al-GAZALI


GHAZALI, ABU HAMID, nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M, lebih dikenal dengan nama IMAM AL-GAZALI.[1]

Sebelum ayahnya meninggal dunia, ketika Al-Ghazali masih kecil, beliau dan saudaranya telah diserahkan kepada seorang ahli tasawuf yang kelak mendidiknya. Di Durjan, beliau mempelajari ilmu Fiqih dan bahasa Arab. Dari sana beliau melanjutkan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat Thus. Di sini beliau belajar kepada Imam Al-Haramain.[2] Kepala sekolah Nizamiyah di Naisabur. Kemudian menjadi guru dan mengajar perguruan tersebut. Selanjutnya, pindah dan mengajar pula di sekolah Nizamiyah Baghdad, lalu menjabat sebagai Direktur sekolah-sekolah Nizamiyah seluruh Baghdad. Kedalaman dan keluasan ilmunya telah menyebabkannya ragu terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, melalui akal pikiran. Ia ragu pula terhadap Mutakallimin, para Filosof, dan golongan Syi’ah Batiniyyah.

Apa yang dicarinya selama ini tentang jalan yang benar ditemukannya di dalam tasawuf, di mana ia merasakan kejernihan pikiran sehingga terbukalah baginya ilmu yang tak pernah didapatkannya sebelumnya.[3] Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi tabah, serta memperoleh “kepastian” tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan segala kemewahan, harta kekayaan, kehormatan, dan keluarga yang ada di Baghdad untuk kemudian pergi ke Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota Damaskus, beliau tinggal selama 11 tahun.

Di Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatannya dengan melakukan khalwat, beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi pekertinya, selalu berfikir tentang Allah SWT. Di situ kemudian beliau pergi ke Yerussalem. Di sini pula beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis. Lama-kelamaan kemudian sesudah itu, beliau pergi ke Mesir dan seterusnya ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji.

Kadang-kadang Al-Ghazali pulang ke Baghdad untuk sekedar menengok keluarganya. Kehidupan yang demikian ini berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama berada di dalam pengembaraan, akhirnya beliau pulang kembali dan menetap di Baghdad.

Setelah mengarungi lautan hidup yang luas itu, menyalami ilmu yang sangat dalam serta menegakkan ibadah, maka pada tanggal 9 Desember 1111 M ( 505 H ), Hujjah al-Islam, Waliyyullah, dan filosof Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah.[4]



BAB II

AJARAN TASAWUF AL-GHAZALI


1. MAHABBAH ( CINTA ).

Mahabbah ( cinta ) itu – pertama-tama – ada berlaku di antara Allah dan para wali-Nya. Al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu. Allah berfirman : Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah ( Q.S 2: 165 ). Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ( Q.S 5: 54 ).

Jika anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak, ”Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu ?” Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak. Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan seisinya berupa pergantian siang dan malam ; matahari, bulan, serta planet-planet yang besar dan kecil. Ini semua merupakan tanda-tanda ciptaan pencipta dan bukti keabadian keberadaan-Nya. Maha Suci Tuhan yang mencipta segala ciptaan. Karena itu, diri anda akan bimbang manakala anda memikirkan yang lebih agung daripada yang anda lihat dan yang anda dengar. Yang menunjukkan kepada anda, sebagai bukti terkuat dan kecintaan kepada-Nya, adalah kenikmatan orang yang mendengar kalam-Nya. Sebab, ia merupakan mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan kecintaan kepada yang Maha Berbicara.[5]

2. ILMU DAN AMAL.

Orang-orang yang di istimewakan ( al-Khawwash ) di antara makhluk-makhluk Allah itu ada tiga, yaitu ‘alim ( orang berilmu ), arif ( orang bijak ), dan nasik ( ahli ibadah / orang yang tekun beribadah ). ‘Alim adalah orang yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu lahir, lalu mengamalkannya.[6]

Ilmu itu banyak macamnya. Yang paling dekat adalah yang menunjukkan pada akhirat seperti ilmu syari’at, tafsir, ilmu hadits, bacaan Al-Qur’an, dan hapalan wirid-wirid yang disebutkan di dalamal-ihya.[7]

Di antara ilmu-ilmu itu, ada yang berbahaya, seperti mengamalkan sihir-sihir dan perdukunan. Dari sejumlah ilmu-ilmu yang dipahami, ada yang membantu anda memperoleh ilmu ke akhiratan. Karena itu, jadilah orang yang beramal, niscaya anda mencapai tujuan yang tertinggi di rumah Allah yang paling baik. Di sanalah, anda menetap tanpa kegelisahan. “Di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”. ( Q.S 54 : 54 – 55 ).[8]

3. MAKNA TASAWUF.

Engkau bertanya tentang apa itu tasawuf. Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua hal, yaitu ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik sesama manusia. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulannya dengan sesama manusia disebut sufi. Ketulusan kepada Allah berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri untuk melaksanakan perintah Allah. Sementara pergaulan yang baik antar sesama manusia adalah tidak mengutamakan keinginannya di atas keinginan manusia, selama keinginan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at / dia yang mengingkarinya, dia bukanlah sufi. Jika dia mengaku seorang sufi, berarti dia telah berdusta.[9]

4. MAKNA IBADAH.

Engkau pun bertanya tentang makna ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain, bahkan melalaikan sesuatu selain-Nya. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan tiga hal berikut :

1. Perhatian terhadap perintah syari’at.

2. Keridhaan terhadap Qadha, Qadhar, dan karunia Allah.

3. Meninggalkan tuntutan pilihan dirinya dan merasa senang terhadap pilihan Allah.

5. TAWAKAL DAN KEIKHLASAN.

Engkau bertanya tentang apa itu tawakal. Ketahuilah, bahwa tawakal adalah engkau meyakini apa-apa yang Allah janjikan dengan keyakinan yang tidak dapat dilemahkan oleh berbagai bencana, betapapun banyak dan besarnya bencana itu.

Demikian pula, engkau bertanya tentang makna keikhlasan. Ketahuilah, bahwa keikhlasan itu berarti bahwa semua perbuatanmu dilakukan karena Allah. Kalbumu tidak berpaling kepada sesuatu dari makhluk, baik ketika melakukan amalan tersebut maupun sesudahnya, seakan-akan engkau menyukai kemunsulan pengaruh ketaatan kepada mu dari pancaran wajahmu dan kemunculan bekas sujud pada dahimu.[10]


BAB III

P E N U T U P


Kesimpulan

1. Imam Ghazali ; nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Gazali, lahir di Thus provinsi Khurasan, wilayah Persia / Iran sekarang 450 H / 1058 M dan meninggal 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M.

2. Ajaran-ajaran tasawuf Imam Ghazali adalah tentang masalah : cinta ( mahabbah ), ilmu dan amal, makna tasawuf, makna ibadah, serta tawakal dan ikhlas.

3. Kitab-kitab karangan Imam Ghazali di antaranya : Ihya ‘Ulum al-Din dan al-Munqidz min al-Dalal.


DAFTAR PUSTAKA


1. Depag. 1993. Ensiklopedi Islam I 11 M. ( Jakarta : C.V Anda Utama ).

2. Al-Ghazali, Imam. 1998. Kegelisahan Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah ).

3. ____________. 1997. Risalah-Risalah Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah ).



[1] Depag. Ensiklopedi Islam I 11M. ( Jakarta : C.V Anda Utama :1993 ). Hal. 305.

[2] Imam Al-Ghazali. Kegelisahan Al-Ghazali, ( Bandung : Pustaka Hidayah : 1998 ). Hal. 7.

[3] Depag. Op. Cit. Hal. 306.

[4] Imam Al-Ghazali. Op. it. Hal. 8 – 9.

[5] Imam al-Ghazali. Risalah-Risalah Al-Ghazali. ( Bandung : Pustaka Hidayah. 1997 ). Hal. 222 –223.

[6] Ibid. hal. 230.

[7] Ibid. hal. 233.

[8] Ibid. hal. 234.

[9] Ibid. hal. 33.

[10] Ibid. Hal. 332.

Posted by fadliyanur at 3:56 PM